Rabu, 22 Juni 2011

Dalam Dekapan Kabut

Dalam sebuah lamunan canda tawa dan suka di hadapan trotoar-trotoar basah dan indah, menghiasi liuk-liuk jalanan kota Pasar Temanggi. Matahari masih belum menampakkan diri kembali. Kabut-kabut masih menyelimuti pepohonan yang kedinginan dan susunan saung-saung tempat orang membawa karung dan mencari sebuah jatah kehidupan. Terlihat dari batang-batang yang menggigil basah tak berdarah getah dan atap yang meneteskan sisa endapan kabut malam nian.
Awan hitam masih dalam pikiran malam kemarin. Mendung menandakan akan hujan kembali lagi. Dan masih adakah esok tuk membuat satu elegi hati dalam secarcik kertas anak jalanan? Dia tak bersekolah pun bisa tuk menulis sebuah duka lara di hati kecilnya. “Mintalah pada Tuhan secarcik kertas itu, nak…” Hati pun bergumam lirih kecil.
Dengan baju tak pasti tuk layak pakai, hanya diam termengu di sisi jalanan basah bekas ludah langit tadi malam. Cukup deras menggetarkan hati. Jalanan setapak menuju Pasar Temanggu kotor, dan jangan katakan pula hati anak ingusan itu lebih kotor.
Entah apa yang difikirkan anak kecil itu? Urusan famili kah? Ataukah kehidupan yang semakin tak indah bagi dirinya. Hanya melamun seorang diri tak ada yang menemani lagi. Tak tahu Abah dan Emak-emak mereka dimana singgahnya ?
Ya Tuhan…
Mukanya penuh dengan debu-debu jalanan yang basah, kotor. Sebentar lagi menjadi luntur kotor. Rambut kusam tak lagi tersiram air-air segar nan jernih di telaga sana, yang ada hanyalah air-air jaram keram.
Lalu, bekas apa di pipi kecilnya itu? Luka goresan tangan melayang atau tamparan alam sayang? Kasihan… Hanya menungkup kedua lututnya sendiri menyepi. Tak kenal siapa yang melewatinya di depan. Acuh. Mungkinlah orang hanya beranggapan dia tak punya uang ataupun ladang tuk bertani sendiri. Yang ada hanyalah pikiran-pikiran busuk bagi si ingusan. Lihatlah! Mata-mata mereka membenci anak itu! Lihatlah, tajam!
Bisa kah aku mencari sebuah nama dirinya?
Biarlah, tak mengapa tak tahu juga, kan ku panggil saja dia “Anak Ingusan” dalam diary ku nanti.
Mozaik surya sedikit manampakkan diri malu-malu, sedikit demi sedikit. Bayangan mulai membusung sombong maju ke depan dari arah ku yang berada di sebelah timur – berlawanan dengan barat – tempat Zamrud menampakkan diri sendiri. Tuhan-lah yang melakukan, bukan diri sendiri! Subhanallah… Indah…
Sisa-sisa tetesan kabut mulai menetes lemah ke tanah. Tanah menjadi basah dan lemah. Lemah menjadi sifat tanah yang basah. Terkena batu-batu kerikil tak menjadi basah. Dia tegar dan sabar, batu-batu kasar.
Nyanyian-nyanyian syahdu berkolaborasi bersama burung-burung yang berkicau manja diam di ranting pepohonan rindang yang tadi basah. Di kota Cawan. Menjemur diri dengan pancaran panorama Dhuha, pagi. Semua itu menjadi hirup pikuk sebuah canda tawa dan suka anak ingusan. Sebuah hiburan ‘tuk anak ingusan.
***
Aku hanya bisa diam termenung di depan jendela apartement ku yang tak begitu luas, seluas tanah Surga di sana. Hanya bisa melihat keadaan anak ingusan yang kemarin aku tak melihatnya sama sekali. Mungkin dia anak ingusan baru di kota Cawan sana.
Tak terlalu tinggi surya mengangkatkan diri kembali ‘tuk menyinari seluruh kehidupan di alam nan indah dan fana ini. Masih dalam do’a dhuha. Tetesan kabut pagi menghilang tak nampakkan diri kembali – malu tersinari matahari – lagi. Bayangan pun menjadi lebih sombong menengadahkan diri lagi. Jangan salahkan alam!
“Tuhan, aku ini sehelai daun yang lepas dari ranting-ranting kehidupan. Seperti dedaunan yang ada di jalanan sekarang ini. Tertampar angin, terinjak kaki-kaki kehidupan…” Sontak anak ingusan sembari memegang sapu lidi kusam hitam menyapu dedaunan kuning langsat yang berjatuhan ke jalanan. Sungguh mulia pekerjaan yang dilakukannya. Walaupun mungkin dia tak dibayar tikus-tikus kota sekalipun, untuk saat ini.
Ya Tuhan...
Aku hanya termengu, pula termakan hati olehnya. Inikah jalanan? Kehidupan?
Hari menjelang siang benderang. Surya milik Tuhan berada di arah sembilan puluh derajat arah jarum jam tepat pukul sembilan. Anak ingusan masih tetap menyapu daun yang berjatuhan dan menyapa jalanan dengan senyuman kusam. Buih-buih keringat menetes pasrah menjalani kehidupan jalanan yang kejam bagi dirinya saat ini.
Berterima kasihlah pada alam yang dimiliki-Nya. Anak ingusan sana masih berdecik dengan lidi yang mulai keropos dan rapuh, menghilang. Dan aku masih berada di alam yang berbeda. Antara sengsara dan bahagia. Antara duka dan bahagia. Antara canda dan keterpurukan yang menganga. Anak ingusan tak bisa dengan sendirinya merengek dan menggusar pada pepohonan jalanan yang hanya diam dan terpaku akar belukar. Anak ingusan tak bisa menangis kepada dedaunan yang beterbangan tersapu angin jalanan. Anak ingusan tak bisa merayu pada jalanan berkubang dan meminta “Aku ingin kehidupan!“ Dan dia pun tak bisa mendesah basah pada sisa-sisa kabut tadi pagi, yang sekarang menguap menjadi awan-awan yang akan menghiasi kecerahan hari ini, hingga esok hari.
Ya Tuhan…
Sepertinya dia capek dan letih menyapu daun-daun jalanan yang diterpa tamparan angin pagi. Menunduk dan menghela nafas. Bak anjing majikan tak punya jatah makan dari tuan. Kasihan…
***
Jalanan pasar yang kotor mulai mengering dari kebasahan dan kelembaban alam. Orang-orang hilir mudik kesana-kemari. Mencari bahan pokok ataupun hanya untuk mencari hiburan yang berbeda – bosan dengan kehidupan malam di diskotik – untuk mereka.
“Boleh saya bantu bawa barang bawaan?” Sumbangsih anak ingusan pada seorang Ibu rumah tangga dengan uluran tangan yang begitu sangat lemah bekas menyapu tadi pagi.
Pikirku, apa yang anak ingusan lakukan sekarang ini? Membantukah?
“Aih… aih.. tak usahlah kau bantu! Tak lihatkah siapa dirimu yang kusam masam ini?” gerutunya “Pergi sana! Jijik!” Tegurnya kejam dengan memalingkan muka.
“Watur nuhun, Bu…” Gumamnya lirih kecil sedih.
Dapat apa dia dari membantu itu? Uang seribu, ataukah tamparan yang menyakitkan? Ataupun dengan keikhlasan bisa mendapatkan pahala tambahan dari Tuhan?
“Bung!” Tepukan tangan Mada ke pundak ku memecahkan lamunan kehidupan anak jalanan di pagi menjelang siang itu “Pikir apa kau pagi bolong gini? Abah dan Emak mu di dusu kah? Ceritalah padaku! He he…”
“Kau ini, bagai tak kenal pula siapa aku ini. Sang penghayal tingkat tinggi di dusun ku”
“Aih… aih… lupa lah aku ini siapa kau…”
“Ah kau ini. Dasar pelupa tingkat tinggi pula, Heh? Da, lihatlah anak ingusan yang disana?”
“Manalah?” Mata Mada meraba-raba setiap sudut keadaan pasar dari atas apartement nya.
“Lihatlah, antara trotoar dan gerbang pasar itu!” Tangan ku dengan sigap langsung menunjuk ke arah anak ingusan itu.
“Si rambut Hitam kusam itu kah? Disana!” gerutunya “Anak itu sudah lama tinggal disana. Setiap pagi anak itu akan datang ke pasar itu dan diam menjadi patung menganga dekat trotoar-trotoar itu”
“Kau tahu banyak tentangnya?”
“Tidaklah. Hanya bisik orang pasar sana” sembari menyeruput kopi pagi yang sudah tiriskan diri “Satu lagi! Anak itu sering kali berteriak menganga bahwa dia itu seperti daun yang lepas jatuh dari rantingnya, dan terinjak-injak kehidupan manusia. Begitulah kalau tak salah ucap. Lalu, mlai kerjalah sehari-garinya. Ya.. semacam nyapu halaman pasar Temanggu sana lah… tak banyak. Tak berangkat ke luar kau, Bung?”
“Tak ada uang tuk hari ini”
“Kau ini, selalu saja tak ada uang. Kapan kau kaya sepertiku, hah? Aku pergi duluan, Bung”
***
Ah… Aku kembali menghela nafas keprihatinanku.
Ya Tuhan.
Sampaikanlah salam kabungku ini pada anak ingusan itu. Anak yang selalu menunggu pagi mencari setetes kabut yang hinggap pada dedaunan. Dan mengumpul menjadi satu untuk kehidupan yang kini mulai mengaku kaku padaku. Aku bersyukur untuk-Mu selalu.
Dalam sajadah suci ini, ku lemah di hadapan-Mu. Kuteteskan air mata kesedihan tuk anak ingusan di jalanan setiap waktu dalam sujud ataupun diam.

Garut, 20 Mei 2011


*Pernah dikirimkan ke Koran Republika, belum ada konformasi lebih lanjut

Minggu, 15 Mei 2011

Dusun ku Hilang

Masa ini aku termenung kembali di atas batu yang bisu, bersama kuali entah milik siapa. Ya Tuhan. Mereka terlihat busung dan kelaparan. Rumah itu bah gerbong kereta api yang diam dan sudah tua. Mungkin itu gerbong kereta keluaran Belanda dahulu. Tersusun rapih. Banyak tambalan-tambalan kardus bekas pencarian mereka yang busung tadi pagi. Apakah sekarang masih busung?
Ku cari lebih dekat keberada bau anak busung…
Har! Kemana anak-anak dusun Lempong busung yang ingusan ini? Tak adakah yang memecahkan batu-batu pualam di serambi muara milik orang? Takut tangan-tanagan mungil mereka tergencet dan terpalu batu.
Dan kemana suara-suara batu pecah yang sering berdecik kasar di sana-sini. Sekarang tak ada (atukah bersembunyi?) Biasanya habislah berates-ratus batu yang anak ingusan itu bersama tetesan-tetesan keringat penuh perjuangan. Tapi kali ini? Sepi, sunyi, bersatu pada dalam kegelisahan. Jangan katakan anak-anak ingusan itu bersembunyi di kolong-kolong jembatan kampung sebrang, mencekik botol!
Ya Tuhan. Tanah Lempong kini sepi.
***
Pelarian ku kini menuju ke Lempong Tonggoh. Di Bak mobil milik seorang pekerja entah dari mana, tak tahu asalnya. Yang jelas terlihat dari belakang bersiul-siul mengiringi Senandung Kalbu, milik Hendra dari tape recorder nya. Dan berhenti di warung kopi Bang Mada. Dan terlihat tak ada lagi pengepul batu-batu pualam di siang mentereng lagi. Dimana mereka tinggal dan kemana mereka berlari, pergi?
Kini, muara masih ada. Namun penghuni telah tiada. Batu-batu membisu dan menunggu pengepul datang dan menyapa. Sekarang tiada. Dahulu sering nampak jelas jejak-jejak kaki berlari ke arah mata kaki pergi. Bekas anak-anak ingusan pengepul batu mencari batu yang tadi diam membisu, disini. Di tempatku berdiri dan bernyanyi rindu saat ini.
Ah, sore ini sangat sepi. Gadis-gadis tak ada lagi yang memetik pucuk-pucuk daun teh pinggiran, aroma semerbak mewangi menghiasi hari, dahulu. Dengan corong di kepala, pelindung terik surya dan bakul pengumpul pucuk-pucuk teh digendong samping pinggang yang lenggang. Aduhai sangat langsat. Berjalan lunggak-lenggok, anggun nan menggoda pemuda dusun Lempong Tonggoh. Dan kini pun mereka tiada.
Pohon-pohon teh yang kecil mungil, kini kering kerontang tak punya pucuk-pucuk yang rindang lagi, kembali. Semua itu penghasil uang jika ditukar dengan para pengepul batu dan pengepul teh di pasar Temanggung sana.
***
Kini aku hanya bisa diam untuk tanah teh di dusun Lempong Tonggoh ku yang dulu indah. Semuanya berubah setelah aku pergi dan kembali dari negeri orang di sebrang bukit-bukit sana. Yang hampir sama keadaannya, kering bagai laring yang kering.
Mendengarkan dendang irama puisi Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo, Bumi Hangus. Yang dilantunkan anak ingusan dusun Lempong Tonggoh, termakan hati ini dibuatnya pada garis khatulistiwa yang nampak jelas saat ini, peduli.
“Alam! Dengarkan suara bising ku ini!” Lantang anak ingusan memecah kesunyian bersama datangnya lembayung kuning langsat di arah timur. Arah sang surya muncul disana, tanda akhir dunia.
“’Bumi Hangus
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Kita harus pergi kemana, di mana rumah kita?
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Bimbang kalbu oleh cedera
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Hari ini maut giliran siapa?’
ku persembahkan untuk penghuni bumi tercinta yang kini menangis karya, W.S Rendra dalam Stanza dan Blues…”

Semua orang di warung kopi termenung aneh penuh tanda tanya melihat dan memperhatikan tingkah-laku anak ingusan berteriak dengan serak. Aku pun juga.
“Har! Nak, apa-apaan kau ini? Berteriak tak tahu diri” Mendenguslah Bang Mada, pemilik warung kopi di dusun Lempong Tonggoh. “Pergi sana!” Tegasnya usir anak ingusan.
Pikirku, apakah Bang Mada tak sadar dengan keadaan dusun saat ini? Irama Bumi Hangus, anak kecil yang busung dan ingusan, serta keadaan dusun yang kering kerontang. Semua bagai teka-teki Sherlock Holmes yang sukar dipecahkan oleh orang tertentu. Atau mungkin sebuah tanda tertentu, antara Kekuasaan milik Tuhan, jalan alam, dan kehidupan di masa silam, sekarang atau yang akan datang?
Ya Tuhan…
***
Seorang yang tak ku kenali sama sekali duduk di samping ku, di serambi warung Bang Mada. Tangannya perlahan menuju sebuah cangkir berisikan kopi panas pesanannya, dan kemudian menyeruputnya dengan penuh kenikmatan. Terdengar mengecap sedap antara, rasa bercampur dengan lepasnya dahaga yang hilang dengan panas secangkir kopi.
“Ah… Sebentar lagi hidup kita tak perlu susah mencari batu-batu pualam di muara lebak sana, atupun menyuruh gadis-gadis rumah memetik pucuk-pucuk teh di sini” Lirih dia pada Bang Mada.
“He…” Bang Mada hanya tersenyum simpul menyambut ucapannya. “Kapan mulai dimeterinya, Bang?” Kejar oborolan Bang Mada bercampur tanya.
“Minggu depan!”
Aku bingung dengan obrolan mereka berdua saat itu. Rasanya, di benak ku ini penuh tanda tanya. Ada apa? Ada apa?
“Bang, berapa uang semuanya?”
“Roti dua, Kopi panas satu gelas… semuanya jadi lima ribu rupiah aja, Bang”
“Nih Bang! Esok hari tak akan susahlah nyari selembaran ini…” Lelaki itu pergi mengikuti hilangnya lembayung sore.
“Makasih, Bang!”
Semua keadaan menjadi sunyi kembali…
Aku pun memecah kesunyian itu dengan sebuah pertanyaan. “Bang, boleh tau apa yang Abang bicarakan dengan orang tadi?” Tanyaku heran.
Bang Mada sebentar menyeruput teh manis miliknya.
“Ah… jadi gina Zam, dusun kita ini tanahnya bagus dan subur. Dan akan dimeteri oleh orang dari kota Emil. Dan dibuat semacam tempat perkemahan gitulah…” Simpulnya “Dan tiap bulannya, semua orang dusun kita in dapat uang persenan dari mereka”
“Har! Benarkah begitu bang” Aku kaget dibuatnya.
“Kata orang dusun kebanyakan sepeti itu, tapi Abang kurang tahu banayk tentang hal itu. Sudahlah, tak perlu cemas kau, Zam”
***
Tak akan ada lagi anak ingusan pencari batu di Lempong Lebak sana, di muara. Tak akan ada lagi cerita gadis-gadis centil yang berlenggak-lenggok di pagi hari atau pun sorenya. Tak akan ada lagi cerita indah dusunku ini untuk cucu ku esok hari. Tak sadarkah warga dusun Lempong saat ini?
Memang enak jika kita terus disuapi oleh Mamma. Memang enak ikan sungai dibandingkan ikan pasaran dari kolam. Tapi, semuanya akan lebih terasa dengan usaha kita. Tangan-tangan mungil anak ingusan atau tangan-tangan yang indah memetik pucuk daun teh.
Dusunku kini telah berubah. Tak seperti dulu lagi. Yang hijau, yang indah, dan yang asri.
Kali ini, kata-kata hanyalah kenangan. Suatu dusta adalah tantangan saat berhadapan dengan Tuhan Pencipta Alam.
Aku terdiam seribu bahasa bersama menjelang kelelawar malam keluar dan menghilang.
Ya Tuhan…


*Cerpen ini diikut sertakan dalam "LOMBA MENULIS CERPEN TEATER BUMI se-KABUPATEN TARAKAN" Dan memenangkan juara pertama

Selasa, 03 Mei 2011

Berganti Musim

Aku terdiam beribu-ribu tanya. Ya Tuhan. Padang beras di dusunku mengering! Bulir-bulirnya langsat, Tak serupa bulir yang kuning lumrah macam bunga matahari. Apa musabab ? Tlah terkena kutuk leluhurkah atau terjadi prahara antara si pemanen dengan petani Elim, sehingga membuat padang mengering, serupa batu yang mengeras dikutuk leluhurnya? Bulir-bulir beras membatu! Tidak saja membuatku senyap tak percaya. Tapi mengingatkanku akan kenangan tempo dulu di dusun ini. Siapa yang bisa menghindar dari kenangan dan pengalaman? Betapa hijau kekuning-kuningan dusun ini. Dulu!.

Kemana para gadis tua yang dulu bersiul-siul bersama kicau burung dusun nan indah dan sejuk ini? Mungkin menyimpan diri di balik bilik tua. Takut kuku-kuku indah mereka terkena kotor leutak padang beras. Tak enak membiarkan wangi badan bercampur dengan aroma kotor yang menusuk.

Lantas, kemana pula para bujangan? Yang seharusnya membajakkan si kerbu ingusan di padang. Dan menghasilkan beras menjadi rupiah di pasar Simatupang. Atau memotong batang-batang rumput hijau di galeng jalan-jalan kecil di pesawahan. Jangan bilang para bujang besembunyi bersama gadis tua di balik bilik tua!

Har! Celakalah dusunku yang dulu indah ini! Padang telah mengering kuning menjadi dataran tanah tanpa penghijauan.

***

Kulihat dan kulirik semua terhampar kering, Kuning. Terikat dalam satu warna, bukan hijau, tapi hanya kering. Sama halnya tanpa ada batang beras ini, binatang padang beras tak satupun keluar menampakkan hidung ataupun ekornya. Seperti dalam satu kutukan, semua menghilang (atau bersembunyi?) dan membiarkan padang mengering dalam sunyi.

Tak ada siulan seorang bujang ingusan. Pemalas pemanggil sebuah kenangan. Tak ada pula jalan bekas traktor pengunyah tanah yang kemarin indah dan basah disana, di padang beras.

Bujangan oh bujangan! Kemarin masih ada bersama gitar kroncong milik kakekmu di sisi galeng basah. Sekarang entah kemana?

Tak sadarkah para petinggi pemilik padang? Melantarkan ladang penghasil uang. Membiarkan kering kerontang. Aduhai, sangat malang kepalang. Meninggalkan padang gersang, dalam artian melantarkan anak bini juga warga-warga disini. Di dusun indah ini. Bahkan tak akan ada lagi dapur yang mengepulkan asap nasi liwet.

Dimana, kemana para dedekot dusun ini?

Har! Tak ada yang melihat keadaan galeng-galeng kotak ‘tuk bahan pokok dusun esok hari. Ataupu hari ini. Sepertinya ada yang ganjil, tentu tak seganjil diriku yang baru kembali dari Ujung Kulon, setelah bertahun-tahun aku hengkang dari dusunku ini.

Hati tak sabar tuk melihat dedekot dusun yang melantarkan padang yang begitu kering, gersang. Dan merengek sedih pada petinggi-petinggi gedung berkaca di kota atupun tikus-tikus kota.

Masamkah muka mereka? Hai pemilik padang gersang?

Berkecambuk dalam pikiran yang tak tentu. Bercampur dalam sebuah elegi tuk hari esok. Mencari sebab musabab atas semua prilaku yang terlihat dengan kasat mata penuh dosa. Angin ngahiliwir, dina asa anu karasa sareng kariksa.

Dari bak mobil kap bunting, kutengok seorang supir bersiul-siul dengan seorang kenek yang berdendang mengikuti irama tape recorder, Suhu milik Iwan Fals.

Berlalu-lalang, lewat sana-sini seperti tak aneh melihat padang kering bertajuk kerontang sepanjang jalan menuju dusun; Palawija.

***

Lagi-lagi aku tertegun. Ya Tuhan. Dimana muka kesedihan mereka? Tak merasakah padang beras mereka telah kering, tak satu pun yang kuhayalkan terbukti asli. Muka nelangsa tak ada di raut muka mereka.

Aku membatu di serambi jalan. Menatap kosong tertuju dan berkaca pada cermin genangan air jalanan bekas hujan tadi malam yang penuh dengan pengakuan dosa seorang hamba. Tak dapat bergerak jua kaki melangkah. Motor-motor berseliweran, mengepul asap, membuatku batuk dan terjaga.

Otakku kini membeku, hilang sudah impian sebuah dusun yang asri dan murni. Atau mungkin aku linglung. Salah alamat. Dimana penduduknya tak peduli padang beras kembali ada. Hijau, menguning langsat. Tak peduli.

***

“Orang kampung dapat selembar kertas merah bernominal tiap bulan, Nak” Ucapnya “Seratus ribuan!” Tegas simpul Bang Gaek. Tangannya menjiwir sedikit roti murah dan mencelupkannya ke dalam secangkir kopi wedang jahe, lalu meminumnya. Terdengar mengecap kenikmatan kopi berpadu-padan dengan wedang jahe panasnya.

“Tiap bulan, Bang?” Keningku mengkerut.

“Har!”. Tegasnya “Padang kita bagus tanahnya. Datar, P.T. Rumah Indah yang ada di Pasirkemih yang beli, sudah dimeteri padang itu” Jelasnya.

“Semuanya?” Kejarku, mukaku pias, putih.

Dari bibirnya yang hitam, terlihat gumpalan asap putih mengepul aroma tembakau. Garpit. Terbang rendah di sekitar kepalanya.

“Bang, Dimana orang mencari nafkah?” Lontarku. “Teu kapikir emangna?” Otakku bebal dibuatnya.

“Tenang aja lah, sepakat lewat pesirah dan P.T Rumah Indah, padang beras kita dipakai menjadi ladang rumah-rumah, perumahan!” Sahut Bang Gaek, masih santai dengan roti dan kopi panasnya.

“Har, arurang tak perlu ka ladang! Tinggal cicing datanglah uang. Hahahahaha…” Tawa-tawa kecil menyeringai jelas di raut muka Bang Gaek, mengiringi musabab ladang hilang.



Aku senyap…

Bang Gaek mungkin benar, dusun ini akan lebih makmur dibandingkan dengan dusun kemarin-kemarin sebelum aku pergi merantau jauh. Gadis tua, mungkin tak akan pergi kotor-kotoran lagi. Bahkan bujangan tak mesti mengurus kerbau-kerbau ingusan pula. Tapi, alam akan marah akibat itu semua.

***

Aku menghela napas, melihat padang kering tak hijau kembali. Debu-debu mengepul ketika tanah tertiup angin bersama sinar matahari.

Mesin-mesin mulai membangun pondasi rumah. Seketika itu juga, burung-burung kecil tunggang langgang mengepak sayap.

Tak jauh beda yang berada di tanah, hewan berlarian mencari selamat. Lari sejauh kaki berlari. Mghindar menuju padang yang tak terpegang iblis bermata peri.

Aku senyap. Sebab tak akan ada lagi cerita kerbau tersandung di atas tanah kotor, berlumpur. Kini hanya ada tanah tandus nan gersang yang akan ditinggalkan bila isi perutnya telah terkuras tak tersisa. Ya Tuhan.





-Kota Dodol, 2 Mei 2011-

"cerpen Lomba menulis SMAN 1 Bekasi...."

Kamis, 28 April 2011

Catatan Opa

dahulu...

sempat kutuliskan di atas secarcik kertas suci

sebuah kehidupan dalam lingkaran Ibu Kota

arti sebuah perjuangan para bangsawan

semangat para kaum hawa bersama Ibu Kartini

tetesan kenangan anak-anak negeri

bersama ribuan mimpi...





semua itu cukup untuk cucu ku

esok hari...





Lihat lah, nak !

ini catatan Opa tempo dulu...

semuanya, dahulu memang seperti ini

tapi...

semua menjadi tak ada

sebuah perjuangan telah hilang disana

semangat kini tak ada dan abstrak

mimpi pun entah kemana !

semua bersatu padu dalam pekatnya Ibu Kota

hanya do'a yang bisa ku antarkan pada-Nya...



-Batavia, 27.04.2011-

METAMORFOSA IBU KOTA

Batavia, 1862-1942

bersama indahnya rindang pohon bertadjuk bunga

kau taburkan bersanma banyaknya mimpi-mimpi anak ketjil

sedjuk, nyaman dalam nyanyian sendja

tempo hari...

nyanyian "ncing" memakai kerontcjng

terdengar alami merdu mengaloen melayoe

hingga mengantarkan koe pada seboeah mimpi syahdoe



aku pun terbangun

dari lelap ku....



Jakarta, ...-2011

Aku takut akan tak adanya rindang pohon

tak hijau, dan tak ada bunga lagi

mimpi-mimpi anak kecil pun, sekarang tak ada !!

dimana ??

polusi, bercampur dalam tangisan anak tiri...

sekarang ini...

pengamen jalanan memakai "kecrekan"

terdengar kasar dalam nyanyian

hingga mengantarkanku pada kesadaran



dan inilah keagungan Tuhan

syukur, ku ucap selalu dalam sujud ku hanya pada-Mu



-Batavia,27.04.20011-

Minggu, 24 April 2011

10 Tips belajar yang baik

1. Belajar dengan tekun dan giat akan membuat hasil yang lebih maksimal
2. Belajar dengan berkelompok akan lebih memudahkan pembelajaran seseorang
3. Dengan membuat intisari (rangkuman) dari setiap pembicaraan pengajar
4. Belajar dengan aktif, berani ditanya dan bertanya
5. Mampu membuat suasana belajar yang kondusif. Karena hal ini akan mempengaruhi kepada suasana belajar seseorang
6. Giat dalam membaca buku-buku pealajaran atau pun buku umum lainnya yang mampu memberikan referensi dalam belajar
7. Berani mencoba hal yang baru. Hal ini disudutkan untuk lebih berpengalaman dari suatu pekerjaan dalam pembelajaran
8. Mempunyai sikap yang sabar dalam hal menerima pelajaran yang disampaikan oleh pengajar
9. Berbagi dalam pelajaran yang telah diajarkan. Hal ini dilakukan supaya daya ingat seseorang terhadap pelajaran yang digelutinya terulang-ulang
10. Hindari belajar dengan SKS (sistem kebut semalam).

Pecandu Kata

Indahnya bahasa mu,,, sahabat
Kurasakan dialog antara hatimu kepada diriku,,,
Untaian kata kata yang detil dan berirama
Menyuarakan apa yang engkau rasakan didalam hatimu,,,,
Kunikmati kata demi kata yang tersusun menjadi kalimat dalam setiap karyamu
Mereguk tiap hikmah yang coba engkau sampaikan
Mencoba memahami apa yang engkau pikirkan,,,
Dan seolah diriku menjadi pemilik semu karya itu,,,
Kata,,,
Menurut diriku adalah intan,,,
Bagaimana cara kita mengasahnya menjadi nilai tinggi
Kata,,,
Menurutku adalah mutiara,,,
Sejauh mana dirimu membuat diriku memahami dalamnya lautan maksudmu
Kata,,,
Menurutku adalah jalan,,,,
Sejauh mana dirimu telah melangkah dalam hidup ini
Kata,,,
Menurutku adalah cermin,,,,
Siapakah dirimu adanya,,,
Kata,,,
Menurutku adalah candu,,,
Bagaimana dirimu mengubah pola pikir orang lain,,,
Sahabat,,,
Mungkin kata katamu tidak merubah diriku dengan sekali membacanya,,,,
Namun yakinlah bahwa karyamu dapat mengilhami cara diriku untuk memandang dunia
Terima kasih,,,,


Sorek, 30 januari 2011 11.18 pm

Sabtu, 02 April 2011

Format Baru Sejarah Sastra Indonesia


BERTOLAK pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra. Format baru Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998. Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut. Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut: Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia. Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.

SARDI, SANG PEMABUK

Dinginnya suasana malam hari tak meredupkan hati seorang laki-laki muda untuk melakukan perbuatan maksiat, yakni meminum minuman keras. Namun sesekali di dalam dirinya muncul rasa ingin bertobat kepada Allah agar diampuni dosa yang telah diperbuatnya seraya berkata. "Ya Allah, sungguh hamba sangat merasa berdosa atas apa yang telah hambamu ini lakukan, hamba ingin bertaubat serta ingin menjauhi perbuata-perbuatan maksiat tadi"
Namun dirinya masih tidak mampu untuk melawan hawa nafsu yang ada pada dirinya untuk melakukan perbuatan syetan tadi. Akhirnya ia pun mengalirkan air haram tadi dari sebuah gelas ke dalam tenggorokannya hingga beberapa tegukan. Sehingga dirinya sempat tidak sadarkan diri akibat minuman tadi.
Dilain waktu setelah dirinya tersadar kembali bahwa perbuatan yang telah dilakukannya tadi merupakan perbuatan syetan yang amat berdosa. Maka diapun kembali meminta ampunan agar diampuni dosanya sambil mengangkat kedua tangannya serya berkata. " Ya Allah, kali ini hambamu ini sangat benar benar-benar ingin bertaubat. serta hamba memohon kepada-Mu agar hati beserta ragaku ini kembali kepada jalan yang Engkau ridhai"
Sebut saja Sardi, orang yang suka mabuk ini berlatar belakang dari keluarga yang bisa disebut tidak Harmonis. Ketika dia berumur 14 tahun, Ibu dan Bapaknya meninggalkan dirinya seorang diri.
Kehidupan jalanan, anak-anak nakal serta minuman keras menjadi pengisi kehidupannya sehari-hari. Dia tidur di emperan-emperan toko, tak kenal dingin serta mampu melawan sakitnya gigitan nyamuk jalanan.
Sewaktu dia berumur 15 tahun, dia pernah menjadi anak panti, serta pernah juga hidup di asrama khusus anak-anak nakal berdiam diri.
Setelah dia berumur 22 tahun dia pernah kabur dari tempat anak-anak nakal itu tinggal. Sebab dirinya merasa bosan serta selalu dijadikan bahan olok-olokan oleh teman-temannya pada waktu itu. Sehingga diapun terdampar di suatu desa yang amat tentram serta jauh dari yang namanya keributan.
Maka pada waktu itu dia diangkat oleh kepala desa itu untuk menjadi seorang penjaga kuburan, bisa disebut sebagai Kuncen.
Malam hari tela tiba sang suryapun telah meredupkan cahayanya. Di dalam pikiran Sardi muncul rasa yang sangat tinggi untuk melakukan perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya pada waktu dahulu, yakni dia berkeinginan untuk meminum minuman keras lagi.
Namun dia tidak punya sepeserpun untuk membeli minuman itu. Akhirnya setiap malam hari, Sardi menggali satu kuburan dan mengambil mayatnya untuk dijual kepada mahasiswa kedokteran.
Maka, uang hasil penjualan mayat itupun dibelikannya untuk membeli minuman keras yang dinanti-nanti olehnya.
Sardi merupakan salah seorang yang sangat kental terhadap kejahatan. Namun apadaya, tanpa melakukan perbuatan seperti itu dirinya merasa tidak hidup. Maka minuman keras, mayat serta kejahatan yang lainnyalah yang menjadi penopang kehidupannya.
Disamping dia melakukan perbuatan seperti itu, dia juga sesekali merasa sadar bahwa perbuatan yang sering dirinya lakukan adalah perbuatan yang salah. Serta dirinyapun sesekali meminta do’a kepada Allah agar dosa yang telah diperbuatnya diampuni oleh-Nya.
Pada satu waktu, datang seseorang kepadanya untuk meminta mendo’akan anaknya, sebut saja dia Haji Kartono.karena Haji Kartono setiap tahunnya selalu mendapat cobaan dari Allah S.W.T. berupa cobaan penyakit yang selalu menimpa anaknya. Maka setiap dia mempunyai anak umurnya tidak terlalu lama.
Awalnya, Haji Kartono menceritakan tentang penyakit yang dialami anaknya kepada Sardi seraya mengucurkan air matanya. “Ini adalah anakku yang kelima, anak saya yang satu-satunya terkena penyakit lumpuh. Kata Dokter, anak saya tidak akan lama untuk menjalani kehidupan ini “
Maka, Haji Kartono pun berkata kembali kepada Sardi. “ Saya berharap kepada kamu Sardi, semoga dengan do’a yang kamu limpakan Allah akan mendengarnya serta menyembuhkan penyakit anak saya”
Namun Sardi kembali berkata kepada Haji Kartono. “Kenapa mesti saya yang harus mendo’akannya ? seharusnyakan bapak yanglebih pantas untuk mendo’akan anak bapak. Mala bapak yang pernah jiara ke makam Nabi, sedangkan saya hanya seorang yang kotor, yang pernah hidup di tempat anak-anak nakal”
Tapi Haji Kartono terus memujuknya supaya Sardi mendo’akan anaknya seraya berkata. “ Saya terus berdo’a dibarengi shalat malam, puasa, serta , melakukan ibadah sunnah lainnya. Yapi belum satupun do’aku yang diijaba ole-Nya. Semoga saja dengan do’amu Sardi, Allah akan mendengar serta mengijabahhnya”
Maka dengan perkataan seperti itu, Sardi pun mengangkat kedua tangannya seraya berkata. “Ya Allah , sembuhkanlah penyakit yang ada pada anak Haji Kartono ini. Karena tidak ada penyembuh selain Engkau”, setela Haji Kartono meminta mendo’akan anaknya kepada Sardi diapun hendak melangkahkan kakinya untuk pergi pulang kerumahnya.
Keesokan harinya pada waktu siang, Haji Kartono mendatangi kembali kepada Sardi untuk berterima kasih karena sudah mendo’akan anaknya yang sudah kembali pulih dari penyakitnya. Namun setelah dirinya mencari Sardi kemana-mana dia (Haji Kartono mendapatkan informasi dari penduduk setempat bahwa Sardi telah kembali kerahmatullah tadi pagi’
Sardi meninggal setelah terus berdo’a kepada Allah. “Ya Allah, aku menyerakan segala kekurangan yang ada pada diriku. Aku menyerahkan segala iradahku anya kepada-Mu. Dengan adanya-Mula aku dapat hidup dan mati”
Sardi yang kini yela tiada, menggambarkan satu manusia yang merasa dirinya hina, kotor yang selalu berbuat kesalahan tapi dirinya selalu meminta diampuni seluruh dosanya.


-Bandung,01 April 2010 jam 16:37-

*cerpen ini ditulis untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia

TRAGEDI SITU BAGENDIT

Pada suatu masa, ada sebuah desa yang sangat luas lagi berharta. Diantara penduduknya ada yang bernama Nyi Endit. Dia itu seseorang yang sangat kaya diantara penduduk yang lainnya. Akan tetapi, dia itu mempunyai dua sifat yang pasti seseorang tidak akan menyukai apalagi membanggakan dua sifat tersebut, yaitu al-kibru (arogan) dan al-bukhlu (pelit).
Pada suatu hari, tiba-tiba ada seorang kakek-kakek yang datang ke desa tersebut. Tiba-tiba kakek itu tenggorokanya terasa haus, lalu pada saat pula itu di depan si kakek itu berhadapan dengan rumah Nyi Endit. Pada waktu itu pula si kakek menghampiri rumah tersebut dan bermaksud untuk meminta segelas air. Namun, karena Nyi Endit itu mempunyai sifat yang tercela, Nyi Endit pun tidak memberikan segelas minman pada si kakek itu. Malah si kakek itu di usir oleh Nyi Endit seraya berkata. “Mau apa kau datang ke rumahku ? Pergi sana ! Aku jijik melihat orang yang meminta-minta seperti kamu”. Maka kakek-kakek itu pun tidak panjang lebar dia mengambil keputusan untuk segera meninggalkan dari hadapan Nyi Endit.
Di dalam sebuah perjalanan si kakek, di tengah-tengah suatu dusun desa si kakek mengambil sebuah tongkat. Lalu si kakek pun menancapkan tongkat tersebut di atas permukaan bumi. Tidak lama kemudian setelah si kakek menancapkan tongkat tersebut, lalu munculah benih-benh air keluar dari atas tanah.
Setelah beberapa lama kemudian air itu menjadi besar dan menelan seluruh dusun desa yang berada di sekitarnya.
Maka, setelah sekian lamanya desa tersebut menjadi sebuah lautan air yang disebut Situ Bagendit. Yang sampai sekarang masih ada serta kita rasakan.
Keindahannyapun tidak kalah indahnya dengan pulau-pulau yang lain.

-Garut, 09 April 2010 jam 14:08-

*tulisan ini diperuntukkan teman saya..

Kamis, 31 Maret 2011

AMANAH

Kalimat amanah sudah tidak asing lagi di kehidupan manusia. Yang mana kalimat amanah ini berartian satu titipan yang yang dipercayakan oleh seseorang kepada sesamanya. Serta bisa juga disebut titipan dari seseorang kepada orang yang dipercayanya. Seperti halnya di dalam kehidupan seorang ibu yang menitipkan anaknya kepada orang yang dipercayanya, serta menjaga anak tersebut.
Dan juga seperti di dalam kehidupan beragama, terutama agama Islam. Yakni Allah S..W.T telah memberikan amanah kepada ataupun titipan kepada seluruh makhluk yang telah diciptakan-Nya, terutama makhluk yang sangat dispecialkan oleh Allah S.W.T, yakni manusia. Kenpa manusia disebut sebagai makhluk yang dispecialkan oleh Allah ? Sebab, manusia mempunyai akal yang tidak dimilikai oleh makhluk yang lainnya.
Pada hakekatnya, manusia sangatlah banyak diberi amanah oleh Allah S.W.T. Seperti halnya harta yang dimiliki oleh manusia. Sebab kenapa ? Semua harta yang ada di seluruh alam ini adalah kepemilikan Allah semata. Harta yang dimiliki oleh para pejabat tinggi itu bukanlah miliknya, tetapi itu hanyalah titipan dari Allah S.W.T agar dipelihara dengan baik-baik olehnya.
Oleh karena itu, apabila kita mengkhianati, menyalahi serta tidak memperlakukan harta itu dengan baik-baik maka kita akan mendaptkan sikasa yang amat pedih di akhirat kelak. “Nau’dzubillahi min dzalik”
Selain harta, manusia juga diberikan amanah berupa Ilmu. Yang mana amanah yang kita miliki ini haruslah kita dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Bisa dengan cara diamalkannya ilmu tersebut kepada orang lain.
Di lihat dari segi jenis ataupun macam-macam amanah, terbagi atas tiga macam :
Pertama, Amanah yang berhubungan antara manusia dengan Allah S.W.T. seperti halnya amanah yang diberikan oleh Allah kepada menusia yaitu Agama. Awalnya, Allah menitipkan amanh ini kepada langit, bumi serta gunung-gunung yang ada di alam ini. Namun, dikarenakan langit, bumi serta gunung-gunung tidak mampu untuk menerima amanah tersebut maka Allah menitipkan amanah tersebut kepada seluruh manusia.
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanah itu oleh manusia. Sungguh manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh. Sehinnga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik, laki-laki dan perempuan; dan Allah akan menrima taubat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”(Q.S. al-Ahzab:72)
Kedua, Amanah yang berhubungan dengan sesama manusia. Seperti halnya seseorang yang mengamanahkan barang kepunyaannya kepada temannya ataupun orang yang dipercayainya.
Ketiga, Amanah yang berhubunga dengan diri kita sendiri. Yakni seperti halnya kita diwajibkan menjaga diri kita, baik menjaga dari segi kesehatan diri kita maupun menjaga dari hal-hal yang menyebabkan kita berdosa. Seperti yang telah digariskan di dalam al-Qur’an :
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu daridari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya ynag malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S.at-Tahrim:6)
Oleh karena itu, suatu amanah apabila dikhianati, dilaleikan oleh seseorng, maka dia akan mandapatkan siksa di dunia maupun siksa di akhirat. Seperti halnya orang yang melakukan Korupsi, yang memakan harat rakyat kecil serta amanah negara. Dirinya kan mendapatkan siksa di dunia berupa tempat tahanan bagi Koruptor, yakni penjara. Serta dia juga akan mendapatkan siksa di akhirat nanti berupa api neraka Jahannam.
Disisi lain, orang yang menjaga serta melakukan amanhnya dengan baik maka dia akan mendapakan kebahagiaan serta diapun termasuk orang-orang yang beruntung
“Dan (sungguh beruntung)orang yang memelihara amanah-amanah dan janjinya” (Q.S al-Mu’minun:6)
“Dan orang-orang yang memelihara amanahnya dan janjinya, dan orang-orang yangberpegang teguh pada kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara Shalatnya. Mereka itu dimuliakan di dalam Surga” (Q.Sal-Ma’arij:32-35)

-garut, 09 April 2010 jam 14:05-

titipan teman sejati...

adakah sepucuk surat untuk seorang teman ???
beribu dorongan kehidupan ....
maknai diri...
maknai hati ...
 berikanlah padanya seindah mentari pagi !!!
antara kehidupan abstrak yang tak pasti

karna tak ada lagi selain teman sejati
yang menemani diri menuju keabadian Illahi...

-garut, 27 Oktober 2010 jam 14:41-

Syukurilah apa yang ada

Pada zaman sekarang ini banyak oang Muslim yang tidak mensyukuri terhadap rizki atau kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah S.W.T. kepada dirinya sendiri.
Seperti halnya apabila dirinya mendaptkan makanan, uang, kenaikan jabatan terhadap dirinya, dan lain sebagainya. Tapi dirinya malah tidak mensyukurinya.
Karena kita bisa saja mensyukuri rizki dari Allah tidak hanya dengan mengadakan acara syukuran, ataupun yang lainnya. Tapi bisa saja kita mensyukuri rizki atau nikmat dari Allah dengan mengawali hal-hal tersebut dengan mengucapkan kalimat “Basmallah” serta di akhiri dengan kalimat “Hamdallah.”
Seperti halnya apabila kita medapatkan makanan, maka dikala kita hendak memakannya hendaklah bersyukur kepada Sang Pencipta dengan membaca Basmallah ataupun dengan membaca do’a sebelum makan. Maka apabila setelah kita memakan makanan tersebut hendaklah mengucap syukur dengan kalimat Hamdallah tadi ataupun mengucap do’a sesudah makan. Bgitu juga apabila kita mendapatkan sejumlah uang, baik itu yang bernominal kecil maupun bernominal besar.
Dan juga dikala naik jabatan, seperti halnya seorang Polisi. Misalkan dia pada waktu itu menjabat sebagai bawahan, lalu di satua waktu dirinya mendapatkan kenaika jabatan. Maka setelah naiknya jabatan tersebut alangkah baiknya dia mensyukurinya. Karena dengan memunculkan rasa syukur kita kepada Allah S.W.T., kita akan merasakan kehidupan yang berkecukupan. Serta kita tidak akan terlalu Hubbud dunya (mencintai dunia).
Allah S.W.T. memberikan rizki kepada kita semua berdasarkan do’a dan usaha (ikhtiar) kita. Dan juga, Allah memberikan rizki-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Mskipun rizki atau nikmat tersebut hanya sedikit, tetap saja kita harus mensyukurinya. Karena apabila kalu kita tidak mensykuri rizki tersebut, kita bisa dikategorikan sebagai orang yang “Kufur Nikmat”. Dan sudah kita ketahui bahwa Allah S.W.T. sangat tidak menyukai orang yang mempunyai perilaku Kufur Nikmat.
Maka dari itu, adakalanya orang lain mendapatkan banyak rizki serta kenikmatan , sedangkan kita hanya mendapatkan sedikit. Mungkin orang lain mendapatkan rizki trsebut dengan cara yang mudah, tapi kita ynag ingin mendapatkan rizki tersebut dengan sekuat tenaga tanpa menghitung waktu, itu juga adakalanya memperoleh sedikit bahkankadang-kadang tidak mendapatkan sama sekali. Karena ukuran sedikit banyaknya rizki serta nikmat seseorang ialah dari ikhtiar dan do’a dirinya, tapi tidak pula dilupakan bahwa Allah lah ynag memberi sedikit banyaknya rizky tersebut.
Oleh karena itu, apa yang kita terima sekalipun itu dari orang yang tidak kita kenal teta[pi tetap hal itu merupakan rizki dari Allah S.W.T. Baik rizki itu sebesara biji atom ataupun sebesar Gunung yang menjulang tinggi.
Serta janganlah kita iri hati terhadap orang lain yang mendapatkan rizki yang lebih besar dari pada kita. Karena kewajiban kita selaku makhluk Allah yang tidak ada apa-apanya adalah berusaha terus menerus untuk medapatkan hasil yang memuaskan dan mungkin pada suatu saat ada perbaikan, sebab itu sudah menjadi Sunatullah.
Seperti yang telah digariskan di dalam al-Qur’an :
‘Maka sesungguhnya bersama kesulitan pasti ada kemudahan. Sesungguhnyabersama kesulitan ada kemudahan.” (Q.S. al-Insyirah: 5-6)
Maka darii itu, syukurilah apa yang telah Allah S.W.T nerikan kepada kita. “Dan lihatlah orang yang keberadaanya di bawah kita serta janganlah melihat oramg yang keberadaannya ada di atas kita.” Demikian (arti) sabda Rasulullah s.a.w yang memerintahkanagar kita selalu bersyukur.

-garut, 12 April 2010 jam 13:56-

"ini adalah tinta pertama kalinya yang dicurahkan oleh Risman Ginarwan"

kesalahan..

malam menunggu datangnya siang
hujan menunggu datangnya reda
luka menunggu datangnya sembuh
sempit menunggu datangnya luas
jelek menunggu datangnya baik

itulah kehidupan....
menunggu...
menunggu..
hanya menunggu..

bunga mawar yang mulai layu pun dia masih terus menunggu
waraskah dia ?
hidup hanya terus menunggu kebaikan
tak mau menunggu kesalahan
berdosa, tak mau seksara...
itulah kita...

-garut, 07 November 2010 jam 11:35-

terdiam diri

setetes darah hanyalah luka yang ringan...
mengantarkan rasa kesedihan seorang penyair
membawa laksana bulan purnama
menuju ke alam baqa...

abadi seorang diri yang menyepi mencari kesenangan duniawi
tak ingat akan keterpurukan ukhrawi yang abadi
finally...

tersudut di pinggir batu syahdu
mendengarkan ocehan seorang pengadu
yang tak kenal rasa malu

-garut, 10 November 2010 jam 15:30-

Muhasabatun-nafsi

ini tentang usia...

belasan tahun...
puluhan tahun...
apakah kita yakin akan berumur lama atau laun ?
kematian mengikuti kita
kapan pun, dimana pun dia ada dan nyata

namun...
apa yang akan kita bawa ?
tak ada...
hampa...
hanya kaffan di dalam kegelapan...

amalan ?
apa yang telah di lakukan ?
apa yang telah diberikan ?
tak ada kan ?
lalu...
untuk di akhirat kapan ?
hamba shalatpun diancam kecelakaan dan kebinasaan kawan...

liriklah dosa !
semua yang dimiliki akan binasatak akan kekal selamanya
hidup itu fana
hanya sementara...

sudahkah kita menangisi dosa ?
yang begitu banyak tak terhingga
dari yang abstrak hingga yang nyata
semua itu pasti ada !

lalu ?
kapan kita meningkatkan amalan kita ?
menunggu datangnya maut dari-Nya kah ?
kawan...
jangan menunda amalan hingga tua !
suatu saat kita mati dalam keadaan apa saja

kawan...
semuanya musnah !
dikala lafadz talqin terdengar basah
masuk ke dalam telinga yang begitu lemah
tak tau indah atau gimana ?

kedua mata memandang pasrah
lebih parah !
sakit tak ada petuah atau pepatah

Muhasabahlah kawanku !
tak banyak yang akan kita pangku
di dalam akhirat itu...

                                                                                     -garut,08.12.10-