Rabu, 22 Juni 2011

Dalam Dekapan Kabut

Dalam sebuah lamunan canda tawa dan suka di hadapan trotoar-trotoar basah dan indah, menghiasi liuk-liuk jalanan kota Pasar Temanggi. Matahari masih belum menampakkan diri kembali. Kabut-kabut masih menyelimuti pepohonan yang kedinginan dan susunan saung-saung tempat orang membawa karung dan mencari sebuah jatah kehidupan. Terlihat dari batang-batang yang menggigil basah tak berdarah getah dan atap yang meneteskan sisa endapan kabut malam nian.
Awan hitam masih dalam pikiran malam kemarin. Mendung menandakan akan hujan kembali lagi. Dan masih adakah esok tuk membuat satu elegi hati dalam secarcik kertas anak jalanan? Dia tak bersekolah pun bisa tuk menulis sebuah duka lara di hati kecilnya. “Mintalah pada Tuhan secarcik kertas itu, nak…” Hati pun bergumam lirih kecil.
Dengan baju tak pasti tuk layak pakai, hanya diam termengu di sisi jalanan basah bekas ludah langit tadi malam. Cukup deras menggetarkan hati. Jalanan setapak menuju Pasar Temanggu kotor, dan jangan katakan pula hati anak ingusan itu lebih kotor.
Entah apa yang difikirkan anak kecil itu? Urusan famili kah? Ataukah kehidupan yang semakin tak indah bagi dirinya. Hanya melamun seorang diri tak ada yang menemani lagi. Tak tahu Abah dan Emak-emak mereka dimana singgahnya ?
Ya Tuhan…
Mukanya penuh dengan debu-debu jalanan yang basah, kotor. Sebentar lagi menjadi luntur kotor. Rambut kusam tak lagi tersiram air-air segar nan jernih di telaga sana, yang ada hanyalah air-air jaram keram.
Lalu, bekas apa di pipi kecilnya itu? Luka goresan tangan melayang atau tamparan alam sayang? Kasihan… Hanya menungkup kedua lututnya sendiri menyepi. Tak kenal siapa yang melewatinya di depan. Acuh. Mungkinlah orang hanya beranggapan dia tak punya uang ataupun ladang tuk bertani sendiri. Yang ada hanyalah pikiran-pikiran busuk bagi si ingusan. Lihatlah! Mata-mata mereka membenci anak itu! Lihatlah, tajam!
Bisa kah aku mencari sebuah nama dirinya?
Biarlah, tak mengapa tak tahu juga, kan ku panggil saja dia “Anak Ingusan” dalam diary ku nanti.
Mozaik surya sedikit manampakkan diri malu-malu, sedikit demi sedikit. Bayangan mulai membusung sombong maju ke depan dari arah ku yang berada di sebelah timur – berlawanan dengan barat – tempat Zamrud menampakkan diri sendiri. Tuhan-lah yang melakukan, bukan diri sendiri! Subhanallah… Indah…
Sisa-sisa tetesan kabut mulai menetes lemah ke tanah. Tanah menjadi basah dan lemah. Lemah menjadi sifat tanah yang basah. Terkena batu-batu kerikil tak menjadi basah. Dia tegar dan sabar, batu-batu kasar.
Nyanyian-nyanyian syahdu berkolaborasi bersama burung-burung yang berkicau manja diam di ranting pepohonan rindang yang tadi basah. Di kota Cawan. Menjemur diri dengan pancaran panorama Dhuha, pagi. Semua itu menjadi hirup pikuk sebuah canda tawa dan suka anak ingusan. Sebuah hiburan ‘tuk anak ingusan.
***
Aku hanya bisa diam termenung di depan jendela apartement ku yang tak begitu luas, seluas tanah Surga di sana. Hanya bisa melihat keadaan anak ingusan yang kemarin aku tak melihatnya sama sekali. Mungkin dia anak ingusan baru di kota Cawan sana.
Tak terlalu tinggi surya mengangkatkan diri kembali ‘tuk menyinari seluruh kehidupan di alam nan indah dan fana ini. Masih dalam do’a dhuha. Tetesan kabut pagi menghilang tak nampakkan diri kembali – malu tersinari matahari – lagi. Bayangan pun menjadi lebih sombong menengadahkan diri lagi. Jangan salahkan alam!
“Tuhan, aku ini sehelai daun yang lepas dari ranting-ranting kehidupan. Seperti dedaunan yang ada di jalanan sekarang ini. Tertampar angin, terinjak kaki-kaki kehidupan…” Sontak anak ingusan sembari memegang sapu lidi kusam hitam menyapu dedaunan kuning langsat yang berjatuhan ke jalanan. Sungguh mulia pekerjaan yang dilakukannya. Walaupun mungkin dia tak dibayar tikus-tikus kota sekalipun, untuk saat ini.
Ya Tuhan...
Aku hanya termengu, pula termakan hati olehnya. Inikah jalanan? Kehidupan?
Hari menjelang siang benderang. Surya milik Tuhan berada di arah sembilan puluh derajat arah jarum jam tepat pukul sembilan. Anak ingusan masih tetap menyapu daun yang berjatuhan dan menyapa jalanan dengan senyuman kusam. Buih-buih keringat menetes pasrah menjalani kehidupan jalanan yang kejam bagi dirinya saat ini.
Berterima kasihlah pada alam yang dimiliki-Nya. Anak ingusan sana masih berdecik dengan lidi yang mulai keropos dan rapuh, menghilang. Dan aku masih berada di alam yang berbeda. Antara sengsara dan bahagia. Antara duka dan bahagia. Antara canda dan keterpurukan yang menganga. Anak ingusan tak bisa dengan sendirinya merengek dan menggusar pada pepohonan jalanan yang hanya diam dan terpaku akar belukar. Anak ingusan tak bisa menangis kepada dedaunan yang beterbangan tersapu angin jalanan. Anak ingusan tak bisa merayu pada jalanan berkubang dan meminta “Aku ingin kehidupan!“ Dan dia pun tak bisa mendesah basah pada sisa-sisa kabut tadi pagi, yang sekarang menguap menjadi awan-awan yang akan menghiasi kecerahan hari ini, hingga esok hari.
Ya Tuhan…
Sepertinya dia capek dan letih menyapu daun-daun jalanan yang diterpa tamparan angin pagi. Menunduk dan menghela nafas. Bak anjing majikan tak punya jatah makan dari tuan. Kasihan…
***
Jalanan pasar yang kotor mulai mengering dari kebasahan dan kelembaban alam. Orang-orang hilir mudik kesana-kemari. Mencari bahan pokok ataupun hanya untuk mencari hiburan yang berbeda – bosan dengan kehidupan malam di diskotik – untuk mereka.
“Boleh saya bantu bawa barang bawaan?” Sumbangsih anak ingusan pada seorang Ibu rumah tangga dengan uluran tangan yang begitu sangat lemah bekas menyapu tadi pagi.
Pikirku, apa yang anak ingusan lakukan sekarang ini? Membantukah?
“Aih… aih.. tak usahlah kau bantu! Tak lihatkah siapa dirimu yang kusam masam ini?” gerutunya “Pergi sana! Jijik!” Tegurnya kejam dengan memalingkan muka.
“Watur nuhun, Bu…” Gumamnya lirih kecil sedih.
Dapat apa dia dari membantu itu? Uang seribu, ataukah tamparan yang menyakitkan? Ataupun dengan keikhlasan bisa mendapatkan pahala tambahan dari Tuhan?
“Bung!” Tepukan tangan Mada ke pundak ku memecahkan lamunan kehidupan anak jalanan di pagi menjelang siang itu “Pikir apa kau pagi bolong gini? Abah dan Emak mu di dusu kah? Ceritalah padaku! He he…”
“Kau ini, bagai tak kenal pula siapa aku ini. Sang penghayal tingkat tinggi di dusun ku”
“Aih… aih… lupa lah aku ini siapa kau…”
“Ah kau ini. Dasar pelupa tingkat tinggi pula, Heh? Da, lihatlah anak ingusan yang disana?”
“Manalah?” Mata Mada meraba-raba setiap sudut keadaan pasar dari atas apartement nya.
“Lihatlah, antara trotoar dan gerbang pasar itu!” Tangan ku dengan sigap langsung menunjuk ke arah anak ingusan itu.
“Si rambut Hitam kusam itu kah? Disana!” gerutunya “Anak itu sudah lama tinggal disana. Setiap pagi anak itu akan datang ke pasar itu dan diam menjadi patung menganga dekat trotoar-trotoar itu”
“Kau tahu banyak tentangnya?”
“Tidaklah. Hanya bisik orang pasar sana” sembari menyeruput kopi pagi yang sudah tiriskan diri “Satu lagi! Anak itu sering kali berteriak menganga bahwa dia itu seperti daun yang lepas jatuh dari rantingnya, dan terinjak-injak kehidupan manusia. Begitulah kalau tak salah ucap. Lalu, mlai kerjalah sehari-garinya. Ya.. semacam nyapu halaman pasar Temanggu sana lah… tak banyak. Tak berangkat ke luar kau, Bung?”
“Tak ada uang tuk hari ini”
“Kau ini, selalu saja tak ada uang. Kapan kau kaya sepertiku, hah? Aku pergi duluan, Bung”
***
Ah… Aku kembali menghela nafas keprihatinanku.
Ya Tuhan.
Sampaikanlah salam kabungku ini pada anak ingusan itu. Anak yang selalu menunggu pagi mencari setetes kabut yang hinggap pada dedaunan. Dan mengumpul menjadi satu untuk kehidupan yang kini mulai mengaku kaku padaku. Aku bersyukur untuk-Mu selalu.
Dalam sajadah suci ini, ku lemah di hadapan-Mu. Kuteteskan air mata kesedihan tuk anak ingusan di jalanan setiap waktu dalam sujud ataupun diam.

Garut, 20 Mei 2011


*Pernah dikirimkan ke Koran Republika, belum ada konformasi lebih lanjut