Kamis, 22 Maret 2012

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Fenomena tentang meramal waktu terjadinya hari kiamat, akhir-akhir ini semakin menyeruak. Kaum Orientalis Yahudi bertekad untuk mengetahui secara pasti waktu terjadinya hari kiamat tersebut dengan meramalnya. Sejarah yang datang dari Leeds, Inggris, menuliskan banyak tokoh yang menyerukan tentang waktu terjadinya hari kiamat. Jelasnya dengan sebuah tanda akan datangnya seorang “Nabi” Namun yang menjadi keanehan di sini adalah nabi yang menjelma menjadi seekor ayam petelur di kota Leeds, Inggris 1806. Ayam ini akan bertelur dan bertuliskan di bagian telur tersebut “Kristus akan datang” Maka dampak dari kabar ayam petelur ini, banyak orang yang menunggu seekor ayam petelur yang dianggap sebagai nabi tersebut menelurkan telurnya yang bertuliskan informasi tersebut.
Selanjutnya seperti yang telah dilansir dari situs Kaskus.us (Nashruddin Syarif, 2012:15) bahwa seorang petani dari New England yang bernama William Miller, mengaku telah mempelajari Al-Kitab beberapa tahun di New England. Dia pernah meramalkan waktu terjadinya hari kiamat berdasarkan perhitungan harfiah yang telah dipelajarinya dari Al-Kitab. Dan berkesimpulan bahwa akhir kehidupan manusia akan bertahan antara tanggal 21 Maret 1843 dan 23 April 1843. Hasil dari ramalannya itu banyak masyarakat sekitar yang menjual ataupun memberikan hartanya kepada orang lain. Namun ketika bertepatan dengan tanggal 23 April 1843, kehidupan masyarakat sekitar berjalan seperti biasanya dan tidak terjadi sesuatu yang mengejutkan. Maka setelah kejadian tersebut, para pengikutnya pun tidak percaya lagi kepada Miller, lalu sebagian dari mereka membentuk gerakan yang hingga kini dikenal sebagai Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (Sevent Day Adventist)
Kemudian Joseph Smith, seorang pendiri Gereja Mormon, dimana dia mengadakan rapat gereja pada Februari 1835 untuk membicarakan bahwa ia pernah berbicara dengan Tuhan. Selama pembicaraan itu, Smith mengakui bahwa Yesus akan turun 56 tahun ke depan (1891) maka hari kiamat pun akan terjadi.
Ramalan selanjutnnya dikemukakan pada Mei 1980 oleh Televangelis dan pendiri Koalisi Kristen, Pat Robertson, dengan mengejutkan banyak orang ketika ia mengatakan pada acara TV-nya, “700 Club” bahwa dia tahu waktu terjadinya hari kiamat. “Saya menjamin bahwa pada tahun 1982 akan ada penghakiman dunia,” kata Robertson.
Setelah itu, diguncangkan dengan karya tulis Michel de Nostradame yang sangat membingungkan banyak orang selama lebih 400 tahun. Tulisannya yang telah diterjemahkan ulang dalam puluhan versi bahasa yang berbeda. Dalam salah satu baris tulisannya menyebutkan “Tahun 1999, bulan ketujuh. Dari langit datang raja terror.” Maka mulai sejak saat itu banyak para pengikut Nostradamus menjadi resah karena menduga hasil sang peramal terkenal itu terhadap kiamat.
Lalu ketika abad ke-20 hampir berakhir, banyak orang yang khawatir terhadap keberadaan komputer yang akan menyebabkan kiamat. Secara akal memang tidak ada keterkaitan secara khusus antara komputer dengan hari kiamat. Namun permasalahannya berawal ketika tahun 1970, adalah bahwa banyak komputer yang tidak bisa membedakan antara tahun 2000 dengan 1999. Maka atas dasar hal itu banyak yang menduga akan terjadi bencana; seperti halnya mati lampu massal, hingga ledakan nuklir. Namun nyatanya, ketika menginjak tahun Millenium tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang telah diduga-duga sebelumnya.
Ramalan lain Kaum Kafir terhadap waktu terjadinya hari kiamat yaitu dengan sebuah alasan ilmiah yang dijadikan film oleh sutradara Roland Emerich. Dengan memprediksikan bahwa tanggal 21 Desember 2012, kiamat akan terjadi. Semua hasil ilmiah yang dihasilkannya itu berdasarkan kalender Suku Maya di Amerika bahwa “Planet Nibiru yang ditemukan bangsa Sumeria diklaim akan segera menabrak planet Bumi, dan NASA dengan sengaja menyembunyikan fakta tersebut” (Nashruddin Syarif, 2012:14)
Namun di pihak NASA sendiri membantah atas isu tersebut. Seperti yang telah dikutip oleh Nashruddin Syarif (2012:14) melalui situs NASA, “jika memang benar akan terjadi tubrukan, para astronom paling tidak bisa melihatnya sejak satu dasawarsa lalu. Dan dengan mata telanjang. ‘Jelas hal semacam itu tidak sedang terjadi’”
Di pihak lain, Suku Maya di Guatemala dan Mexico sendiri membantah bahwa kalender yang berakhir pada 21 Desember 2012 itu adalah pertanda akan datangnya kiamat. Sebagaimana yang telah dikutip oleh Nashruddin Syarif (2012:15) dari situs Republika.co.id tentang perkataan mereka terhadap penolakan isu tersebut ialah “kalender Suku Maya itu hanya menunjukkan adanya beberapa fase kalender sesudah kalender berakhir 21 Desember 2012, maka akan ada lagi fase baru kalender Maya.”
Terdapat pula beberapa ramalan hari kiamat yang telah dilansir dari situs Wikipedia.com (2012). Pertama, Versi Ramalan Sumeria, yang terkenal dengan system bilangan Seksagesimal (baris 60)-nya, juga meramalkan bahwa pada tahun 2012 – lebih tepatnya tanggal 22 Desember (sehari setelah ramalan Tahun Panjang) – terjadi kiamat. Diprediksikan dengan keberadaannya planet Nibiru (planet X) yang disebut sebagai kembaran Matahari dan akan menabrak Bumi dengan sangat keras.
Kedua, Versi Ramalan China Kuno, dengan sebuah buku ramalan yang berjudul China Kuno I-Ching yang diterbitkan 3.000 tahun lalu, memprediksikan bahwa tanggal 22 Desember 2012 terjadi kiamat.
Ketiga, Versi Ramalan Suku Maori, adalah seorang penulis, Lawrence E. Joseph dalam bukunya Apocalypse 2012 mengemukakan bahwa kiamat 2012 diramalkan oleh Suku Maori, yaitu suku asli Selandia Baru. Menurut legenda Maori, dahulu sekali tedapat tiga langit bernama Rangi, Bumi dan Papa. Suatu ketika, Rangi dan Papa terpisah dengan Bumi (anaknya). Dan mereka akan kembali menghimpit Bumi. Dan perjumpaan Rangi, Papa dan Bumi ini akan terjadi pada tahun 2012.
Keempat, Versi Riset Ilmiah yang dilakukan oleh Max Planck Institute for Solar System Research (Lembaga Riset Eropa) pada tahun 2004 terhadap aktivitas Matahari. Dan mendapatkan sebuah kesimpulan, “Aktivitas Matahari saat ini mencapai tingkat yang lebih tinggi dari 11.000 tahun terkhir. Puncakaktivitas matahari diperkirakan terjadi pada 2011 atau 2012”
Kelima, Versi Erupsi Supervulkan Yellowstone (Gunung Berapi Besar) yang berada di taman Nasional Amerika Serikat, akan mengalami erupsi sebanyak satu kali setiap 600.000 sampai 700.000 tahun. Diprediksikan pada tahun 2012, erupsi itu akan kembali terjadi dan berdampak mengurangi populasi makhluk hidup – termasuk manusia – yang sangat luar biasa. Hal ini sama halnya dengan erupsi Supervulkan Danau Toba di Indonesia yang terjadi sekitar 74.000 tahun lalu, yang menyebabkan 90% populasi tewas saat itu.
Al-Qur’an berbicara tentang waktu terjadinya hari kiamat; tidak ada yang mengetahui waktu terjadinya hari kiamat tersebut. Sebab pengetahuan tentang waktu terjadinya hari kiamat ini hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Sekalipun seorang Malaikat ataupun Rasul yang sangat dekat dengan-Nya
         
“Telah dekat terjadinya hari kiamat. Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah.” (Depag, 2006:528)

Di dalam firman-Nya yang lain:
•               •           •    
“Sesungguhnya Allah, Hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Luqman:34) (Depag, 2006:414)

Perhatian Al-Qur’an terhadap adanya hari kiamat ini dibuktikan dengan beberapa redaksi ayat yang meletakkan iman terhadap hari kiamat setelah iman terhadap Allah SWT. Meskipun keimanan terhadap hari kiamat diletakkan pada posisi ke-5 setelah iman terhadap Al-Qur’an. Diantara firman-Nya ialah:
 ••   •       
“Di antara manusia ada yang mengatakan: ‘Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,’ pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (Q.S. Al-Baqarah:8) (Depag, 2006:3)

                   •       • • 
“Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang Telah diturunkan kepadamu (Al Quran), dan apa yang Telah diturunkan sebelummu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. orang-orang Itulah yang akan kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (Q.S. An-Nisaa:162) (Depag. 2006:71)

Selaras dengan perkataan Dr. Kaelany HD (2009:92) bahwa “Keyakinan akan adanya Hari Kiamat adalah kepercayaan yang paling asasi pada setiap agama, terutama Agama Islam” Maka memiliki keyakinan terhadap hari kiamat sangat ditekankan oleh Allah SWT karena keyakinan terhadap hari kiamat ini (sebelumnya) dikolerasikan secara langsung dengan iman kepada Allah SWT.
Sekalipun Allah SWT tidak memberitahukan waktu hari kiamat. Namun Dia mengingatkan kepada seluruh makhluk-Nya bahwa hari kiamat itu pasti terjadi, yaitu dengan tanda-tanda akan datangnya hari kiamat tersebut.
Berdasarkan semua permasalahan tersebut, penulis merefleksikannya ke dalam karya tulis ini dengan mengambil judul “STUDI TAFSIR QUR’AN SURAT AL-ZALZALAH AYAT 1 – 4”

B. Rumusan Masalah
Untuk memudahkan proses penulisan karya tulis ini, penulis merumuskan permasalahn-permasalahan yang ada menjadi beberapa bentuk pertanyaan yang akan menyatakan permasalahan, diantaranya:
1. Bagaimana karakteristik Q.S. Al-Zalzalah?
2. Bagaimana tafsir Q.S. Al-Zalzalah ayat 1 – 4 menurut para mufassir?
3. Apa saja yang menjadi tanda-tanda datangnya hari kiamat?
4. Mengapa manusia meramalkan waktu terjadinya hari kiamat?
5. Mengapa manusia wajib meyakini hari kiamat?

C. Tujuan Penulisan
Dalam tujuan penulisan ini, penulis bermaksud untuk menyatakan pernyataan atas pertanyaan-pertanyaan yang terdapat di dalam rumusan masalah, diantaranya:
1. Untuk mengetahui karakteristik Q.S. Al-Zalzalah;
2. Untuk mengetahui tafsir Q.S. Al-Zalzalah ayat 1 – 4 menurut para mufassir;
3. Untuk mengetahui tanda-tanda datangnya hari kiamat;
4. Untuk mengetahui alasan manusia meramalkan waktu terjadinya hari kiamat; dan
5. Untuk mengetahui alasan manusia wajib meyakini hari kiamat.

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Khusus
Penulisan karya tulis ini memberikan manfaat secara khusus bagi diri penulis sendiri untuk memberikan suatu nilai tambah dalam menghadapi proses kelulusan di tingkat Mu’allimin.
2. Manfaat Umum
a. Bagi Penulis
Di samping manfaat karya tulis ini sebagai penunjang kelulusan di tingkat akhir Mu’allimin, juga sebagai suatu pembelajaran serta pengalaman secara khusus di dunia pendidikan, terutama dalam ruang lingkup proses penulisan karya tulis ilmiah. Dan juga menjadikan suatu sarana atas sikap pendewasaan terhadap diri sendiri dalam mengemukakan satu solusi atas satu permasalahan yang ada. Di samping itu pula semoga menjadi satu landasan dalam rangka Yaziidul Iman (menambah keimanan) terhadap akidah penulis, terutama keimanan terhadap hari kiamat.
b. Bagi Pembaca
Manfaat bagi pembaca sendiri atas apresiasi karya tulis ini diharapkan terdapat suatu perluasan ilmu bagi diri pembaca. Serta adanya suatu manfaat dalam hal amar ma’ruf nahyi munkar antar sesama makhluk Allah SWT. Sehingga pembaca bisa tergugah hatinya untuk lebih mendekatkan diri serta terhadap seluruh dzat yang dimiliki-Nya.

E. Metode dan Teknik Penulisan
Metode Desriptif-Analitis penulis aplikasikan ke dalam proses penulisan karya tulis ini, “yaitu suatu metode penulisan yang bukan saja menggambarkan suatu kejadian saja. Tetapi dari peristiwa tersebut ditindaklanjuti dengan sebuah kritis untuk dikaji lebih mendalam untuk dapat ditarik sebuah kesimpulan” (Usep. 2011:19)
Berhubungan dengan metode tersebut, teknik penulisan yang sesuai dengan metode di atas yaitu dengan Studi Kepustakaan, “yaitu pengumpulan keterangan-keterangan dan berbagai literatur sebagai bahan perbandingan atau acuan yang relevan dengan peristiwa yang dikaji.” (Usep, 2011:20) Menambahkanya oleh Tiar Anwar Bachtiar (2010:53) tentang studi kepustakaan ini ialah “digunakan apabila sumber-sumber data yang akan digali berupa naskah-naskah tertulis, apakah berbentuk dokumen, Koran, majalah, arsip surat, buku dan teks-teks lainnya.”

F. Sistematika Penulisan
Di bawah ini penulis klasifikasikan setiap pembahasan yang terdapat di dalam karya tulis ke dalam setiap per-Bab pembahasan yang ada, diantaranya:
BAB I PENDAHULUAN, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode dan Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II STUDI TAFSIR ATAS QUR’AN SURAT AL-ZALZALAH AYAT, yang meliputi: Karakteristik Surat Al-Zalazalah, Asal Usul Penamaan Surat Al-Zalazalah, Jumlah Ayat; Surat; dan Huruf, Kandungan Surat Al-Zalazalah, Munasabah antara Surat Sebelum dan Sesudahnya, Keutamaan Surat Al-Zalazalah, Asbabun Nuzul Surat Al-Zalazalah, Pendapat Para Mufassir tentang Surat Al-Zalazalah.
BAB III ANALISIS TAFSIR QUR’AN SURAT AL-ZALZALAH AYAT 1 – 4, yang meliputi: Tafsir Surat Al-Zalzalah Ayat 1, Tafsir Surat Al-Zalzalah Ayat 2, Tafsir Surat Al-Zalzalah Ayat 3, dan Tafsir Surat Al-Zalzalah Ayat 4.
BAB IV PENUTUP, yang meliputi: Simpulan, Saran-saran, Rekomendasi.

Rabu, 22 Juni 2011

Dalam Dekapan Kabut

Dalam sebuah lamunan canda tawa dan suka di hadapan trotoar-trotoar basah dan indah, menghiasi liuk-liuk jalanan kota Pasar Temanggi. Matahari masih belum menampakkan diri kembali. Kabut-kabut masih menyelimuti pepohonan yang kedinginan dan susunan saung-saung tempat orang membawa karung dan mencari sebuah jatah kehidupan. Terlihat dari batang-batang yang menggigil basah tak berdarah getah dan atap yang meneteskan sisa endapan kabut malam nian.
Awan hitam masih dalam pikiran malam kemarin. Mendung menandakan akan hujan kembali lagi. Dan masih adakah esok tuk membuat satu elegi hati dalam secarcik kertas anak jalanan? Dia tak bersekolah pun bisa tuk menulis sebuah duka lara di hati kecilnya. “Mintalah pada Tuhan secarcik kertas itu, nak…” Hati pun bergumam lirih kecil.
Dengan baju tak pasti tuk layak pakai, hanya diam termengu di sisi jalanan basah bekas ludah langit tadi malam. Cukup deras menggetarkan hati. Jalanan setapak menuju Pasar Temanggu kotor, dan jangan katakan pula hati anak ingusan itu lebih kotor.
Entah apa yang difikirkan anak kecil itu? Urusan famili kah? Ataukah kehidupan yang semakin tak indah bagi dirinya. Hanya melamun seorang diri tak ada yang menemani lagi. Tak tahu Abah dan Emak-emak mereka dimana singgahnya ?
Ya Tuhan…
Mukanya penuh dengan debu-debu jalanan yang basah, kotor. Sebentar lagi menjadi luntur kotor. Rambut kusam tak lagi tersiram air-air segar nan jernih di telaga sana, yang ada hanyalah air-air jaram keram.
Lalu, bekas apa di pipi kecilnya itu? Luka goresan tangan melayang atau tamparan alam sayang? Kasihan… Hanya menungkup kedua lututnya sendiri menyepi. Tak kenal siapa yang melewatinya di depan. Acuh. Mungkinlah orang hanya beranggapan dia tak punya uang ataupun ladang tuk bertani sendiri. Yang ada hanyalah pikiran-pikiran busuk bagi si ingusan. Lihatlah! Mata-mata mereka membenci anak itu! Lihatlah, tajam!
Bisa kah aku mencari sebuah nama dirinya?
Biarlah, tak mengapa tak tahu juga, kan ku panggil saja dia “Anak Ingusan” dalam diary ku nanti.
Mozaik surya sedikit manampakkan diri malu-malu, sedikit demi sedikit. Bayangan mulai membusung sombong maju ke depan dari arah ku yang berada di sebelah timur – berlawanan dengan barat – tempat Zamrud menampakkan diri sendiri. Tuhan-lah yang melakukan, bukan diri sendiri! Subhanallah… Indah…
Sisa-sisa tetesan kabut mulai menetes lemah ke tanah. Tanah menjadi basah dan lemah. Lemah menjadi sifat tanah yang basah. Terkena batu-batu kerikil tak menjadi basah. Dia tegar dan sabar, batu-batu kasar.
Nyanyian-nyanyian syahdu berkolaborasi bersama burung-burung yang berkicau manja diam di ranting pepohonan rindang yang tadi basah. Di kota Cawan. Menjemur diri dengan pancaran panorama Dhuha, pagi. Semua itu menjadi hirup pikuk sebuah canda tawa dan suka anak ingusan. Sebuah hiburan ‘tuk anak ingusan.
***
Aku hanya bisa diam termenung di depan jendela apartement ku yang tak begitu luas, seluas tanah Surga di sana. Hanya bisa melihat keadaan anak ingusan yang kemarin aku tak melihatnya sama sekali. Mungkin dia anak ingusan baru di kota Cawan sana.
Tak terlalu tinggi surya mengangkatkan diri kembali ‘tuk menyinari seluruh kehidupan di alam nan indah dan fana ini. Masih dalam do’a dhuha. Tetesan kabut pagi menghilang tak nampakkan diri kembali – malu tersinari matahari – lagi. Bayangan pun menjadi lebih sombong menengadahkan diri lagi. Jangan salahkan alam!
“Tuhan, aku ini sehelai daun yang lepas dari ranting-ranting kehidupan. Seperti dedaunan yang ada di jalanan sekarang ini. Tertampar angin, terinjak kaki-kaki kehidupan…” Sontak anak ingusan sembari memegang sapu lidi kusam hitam menyapu dedaunan kuning langsat yang berjatuhan ke jalanan. Sungguh mulia pekerjaan yang dilakukannya. Walaupun mungkin dia tak dibayar tikus-tikus kota sekalipun, untuk saat ini.
Ya Tuhan...
Aku hanya termengu, pula termakan hati olehnya. Inikah jalanan? Kehidupan?
Hari menjelang siang benderang. Surya milik Tuhan berada di arah sembilan puluh derajat arah jarum jam tepat pukul sembilan. Anak ingusan masih tetap menyapu daun yang berjatuhan dan menyapa jalanan dengan senyuman kusam. Buih-buih keringat menetes pasrah menjalani kehidupan jalanan yang kejam bagi dirinya saat ini.
Berterima kasihlah pada alam yang dimiliki-Nya. Anak ingusan sana masih berdecik dengan lidi yang mulai keropos dan rapuh, menghilang. Dan aku masih berada di alam yang berbeda. Antara sengsara dan bahagia. Antara duka dan bahagia. Antara canda dan keterpurukan yang menganga. Anak ingusan tak bisa dengan sendirinya merengek dan menggusar pada pepohonan jalanan yang hanya diam dan terpaku akar belukar. Anak ingusan tak bisa menangis kepada dedaunan yang beterbangan tersapu angin jalanan. Anak ingusan tak bisa merayu pada jalanan berkubang dan meminta “Aku ingin kehidupan!“ Dan dia pun tak bisa mendesah basah pada sisa-sisa kabut tadi pagi, yang sekarang menguap menjadi awan-awan yang akan menghiasi kecerahan hari ini, hingga esok hari.
Ya Tuhan…
Sepertinya dia capek dan letih menyapu daun-daun jalanan yang diterpa tamparan angin pagi. Menunduk dan menghela nafas. Bak anjing majikan tak punya jatah makan dari tuan. Kasihan…
***
Jalanan pasar yang kotor mulai mengering dari kebasahan dan kelembaban alam. Orang-orang hilir mudik kesana-kemari. Mencari bahan pokok ataupun hanya untuk mencari hiburan yang berbeda – bosan dengan kehidupan malam di diskotik – untuk mereka.
“Boleh saya bantu bawa barang bawaan?” Sumbangsih anak ingusan pada seorang Ibu rumah tangga dengan uluran tangan yang begitu sangat lemah bekas menyapu tadi pagi.
Pikirku, apa yang anak ingusan lakukan sekarang ini? Membantukah?
“Aih… aih.. tak usahlah kau bantu! Tak lihatkah siapa dirimu yang kusam masam ini?” gerutunya “Pergi sana! Jijik!” Tegurnya kejam dengan memalingkan muka.
“Watur nuhun, Bu…” Gumamnya lirih kecil sedih.
Dapat apa dia dari membantu itu? Uang seribu, ataukah tamparan yang menyakitkan? Ataupun dengan keikhlasan bisa mendapatkan pahala tambahan dari Tuhan?
“Bung!” Tepukan tangan Mada ke pundak ku memecahkan lamunan kehidupan anak jalanan di pagi menjelang siang itu “Pikir apa kau pagi bolong gini? Abah dan Emak mu di dusu kah? Ceritalah padaku! He he…”
“Kau ini, bagai tak kenal pula siapa aku ini. Sang penghayal tingkat tinggi di dusun ku”
“Aih… aih… lupa lah aku ini siapa kau…”
“Ah kau ini. Dasar pelupa tingkat tinggi pula, Heh? Da, lihatlah anak ingusan yang disana?”
“Manalah?” Mata Mada meraba-raba setiap sudut keadaan pasar dari atas apartement nya.
“Lihatlah, antara trotoar dan gerbang pasar itu!” Tangan ku dengan sigap langsung menunjuk ke arah anak ingusan itu.
“Si rambut Hitam kusam itu kah? Disana!” gerutunya “Anak itu sudah lama tinggal disana. Setiap pagi anak itu akan datang ke pasar itu dan diam menjadi patung menganga dekat trotoar-trotoar itu”
“Kau tahu banyak tentangnya?”
“Tidaklah. Hanya bisik orang pasar sana” sembari menyeruput kopi pagi yang sudah tiriskan diri “Satu lagi! Anak itu sering kali berteriak menganga bahwa dia itu seperti daun yang lepas jatuh dari rantingnya, dan terinjak-injak kehidupan manusia. Begitulah kalau tak salah ucap. Lalu, mlai kerjalah sehari-garinya. Ya.. semacam nyapu halaman pasar Temanggu sana lah… tak banyak. Tak berangkat ke luar kau, Bung?”
“Tak ada uang tuk hari ini”
“Kau ini, selalu saja tak ada uang. Kapan kau kaya sepertiku, hah? Aku pergi duluan, Bung”
***
Ah… Aku kembali menghela nafas keprihatinanku.
Ya Tuhan.
Sampaikanlah salam kabungku ini pada anak ingusan itu. Anak yang selalu menunggu pagi mencari setetes kabut yang hinggap pada dedaunan. Dan mengumpul menjadi satu untuk kehidupan yang kini mulai mengaku kaku padaku. Aku bersyukur untuk-Mu selalu.
Dalam sajadah suci ini, ku lemah di hadapan-Mu. Kuteteskan air mata kesedihan tuk anak ingusan di jalanan setiap waktu dalam sujud ataupun diam.

Garut, 20 Mei 2011


*Pernah dikirimkan ke Koran Republika, belum ada konformasi lebih lanjut

Minggu, 15 Mei 2011

Dusun ku Hilang

Masa ini aku termenung kembali di atas batu yang bisu, bersama kuali entah milik siapa. Ya Tuhan. Mereka terlihat busung dan kelaparan. Rumah itu bah gerbong kereta api yang diam dan sudah tua. Mungkin itu gerbong kereta keluaran Belanda dahulu. Tersusun rapih. Banyak tambalan-tambalan kardus bekas pencarian mereka yang busung tadi pagi. Apakah sekarang masih busung?
Ku cari lebih dekat keberada bau anak busung…
Har! Kemana anak-anak dusun Lempong busung yang ingusan ini? Tak adakah yang memecahkan batu-batu pualam di serambi muara milik orang? Takut tangan-tanagan mungil mereka tergencet dan terpalu batu.
Dan kemana suara-suara batu pecah yang sering berdecik kasar di sana-sini. Sekarang tak ada (atukah bersembunyi?) Biasanya habislah berates-ratus batu yang anak ingusan itu bersama tetesan-tetesan keringat penuh perjuangan. Tapi kali ini? Sepi, sunyi, bersatu pada dalam kegelisahan. Jangan katakan anak-anak ingusan itu bersembunyi di kolong-kolong jembatan kampung sebrang, mencekik botol!
Ya Tuhan. Tanah Lempong kini sepi.
***
Pelarian ku kini menuju ke Lempong Tonggoh. Di Bak mobil milik seorang pekerja entah dari mana, tak tahu asalnya. Yang jelas terlihat dari belakang bersiul-siul mengiringi Senandung Kalbu, milik Hendra dari tape recorder nya. Dan berhenti di warung kopi Bang Mada. Dan terlihat tak ada lagi pengepul batu-batu pualam di siang mentereng lagi. Dimana mereka tinggal dan kemana mereka berlari, pergi?
Kini, muara masih ada. Namun penghuni telah tiada. Batu-batu membisu dan menunggu pengepul datang dan menyapa. Sekarang tiada. Dahulu sering nampak jelas jejak-jejak kaki berlari ke arah mata kaki pergi. Bekas anak-anak ingusan pengepul batu mencari batu yang tadi diam membisu, disini. Di tempatku berdiri dan bernyanyi rindu saat ini.
Ah, sore ini sangat sepi. Gadis-gadis tak ada lagi yang memetik pucuk-pucuk daun teh pinggiran, aroma semerbak mewangi menghiasi hari, dahulu. Dengan corong di kepala, pelindung terik surya dan bakul pengumpul pucuk-pucuk teh digendong samping pinggang yang lenggang. Aduhai sangat langsat. Berjalan lunggak-lenggok, anggun nan menggoda pemuda dusun Lempong Tonggoh. Dan kini pun mereka tiada.
Pohon-pohon teh yang kecil mungil, kini kering kerontang tak punya pucuk-pucuk yang rindang lagi, kembali. Semua itu penghasil uang jika ditukar dengan para pengepul batu dan pengepul teh di pasar Temanggung sana.
***
Kini aku hanya bisa diam untuk tanah teh di dusun Lempong Tonggoh ku yang dulu indah. Semuanya berubah setelah aku pergi dan kembali dari negeri orang di sebrang bukit-bukit sana. Yang hampir sama keadaannya, kering bagai laring yang kering.
Mendengarkan dendang irama puisi Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo, Bumi Hangus. Yang dilantunkan anak ingusan dusun Lempong Tonggoh, termakan hati ini dibuatnya pada garis khatulistiwa yang nampak jelas saat ini, peduli.
“Alam! Dengarkan suara bising ku ini!” Lantang anak ingusan memecah kesunyian bersama datangnya lembayung kuning langsat di arah timur. Arah sang surya muncul disana, tanda akhir dunia.
“’Bumi Hangus
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Kita harus pergi kemana, di mana rumah kita?
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Bimbang kalbu oleh cedera
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Hari ini maut giliran siapa?’
ku persembahkan untuk penghuni bumi tercinta yang kini menangis karya, W.S Rendra dalam Stanza dan Blues…”

Semua orang di warung kopi termenung aneh penuh tanda tanya melihat dan memperhatikan tingkah-laku anak ingusan berteriak dengan serak. Aku pun juga.
“Har! Nak, apa-apaan kau ini? Berteriak tak tahu diri” Mendenguslah Bang Mada, pemilik warung kopi di dusun Lempong Tonggoh. “Pergi sana!” Tegasnya usir anak ingusan.
Pikirku, apakah Bang Mada tak sadar dengan keadaan dusun saat ini? Irama Bumi Hangus, anak kecil yang busung dan ingusan, serta keadaan dusun yang kering kerontang. Semua bagai teka-teki Sherlock Holmes yang sukar dipecahkan oleh orang tertentu. Atau mungkin sebuah tanda tertentu, antara Kekuasaan milik Tuhan, jalan alam, dan kehidupan di masa silam, sekarang atau yang akan datang?
Ya Tuhan…
***
Seorang yang tak ku kenali sama sekali duduk di samping ku, di serambi warung Bang Mada. Tangannya perlahan menuju sebuah cangkir berisikan kopi panas pesanannya, dan kemudian menyeruputnya dengan penuh kenikmatan. Terdengar mengecap sedap antara, rasa bercampur dengan lepasnya dahaga yang hilang dengan panas secangkir kopi.
“Ah… Sebentar lagi hidup kita tak perlu susah mencari batu-batu pualam di muara lebak sana, atupun menyuruh gadis-gadis rumah memetik pucuk-pucuk teh di sini” Lirih dia pada Bang Mada.
“He…” Bang Mada hanya tersenyum simpul menyambut ucapannya. “Kapan mulai dimeterinya, Bang?” Kejar oborolan Bang Mada bercampur tanya.
“Minggu depan!”
Aku bingung dengan obrolan mereka berdua saat itu. Rasanya, di benak ku ini penuh tanda tanya. Ada apa? Ada apa?
“Bang, berapa uang semuanya?”
“Roti dua, Kopi panas satu gelas… semuanya jadi lima ribu rupiah aja, Bang”
“Nih Bang! Esok hari tak akan susahlah nyari selembaran ini…” Lelaki itu pergi mengikuti hilangnya lembayung sore.
“Makasih, Bang!”
Semua keadaan menjadi sunyi kembali…
Aku pun memecah kesunyian itu dengan sebuah pertanyaan. “Bang, boleh tau apa yang Abang bicarakan dengan orang tadi?” Tanyaku heran.
Bang Mada sebentar menyeruput teh manis miliknya.
“Ah… jadi gina Zam, dusun kita ini tanahnya bagus dan subur. Dan akan dimeteri oleh orang dari kota Emil. Dan dibuat semacam tempat perkemahan gitulah…” Simpulnya “Dan tiap bulannya, semua orang dusun kita in dapat uang persenan dari mereka”
“Har! Benarkah begitu bang” Aku kaget dibuatnya.
“Kata orang dusun kebanyakan sepeti itu, tapi Abang kurang tahu banayk tentang hal itu. Sudahlah, tak perlu cemas kau, Zam”
***
Tak akan ada lagi anak ingusan pencari batu di Lempong Lebak sana, di muara. Tak akan ada lagi cerita gadis-gadis centil yang berlenggak-lenggok di pagi hari atau pun sorenya. Tak akan ada lagi cerita indah dusunku ini untuk cucu ku esok hari. Tak sadarkah warga dusun Lempong saat ini?
Memang enak jika kita terus disuapi oleh Mamma. Memang enak ikan sungai dibandingkan ikan pasaran dari kolam. Tapi, semuanya akan lebih terasa dengan usaha kita. Tangan-tangan mungil anak ingusan atau tangan-tangan yang indah memetik pucuk daun teh.
Dusunku kini telah berubah. Tak seperti dulu lagi. Yang hijau, yang indah, dan yang asri.
Kali ini, kata-kata hanyalah kenangan. Suatu dusta adalah tantangan saat berhadapan dengan Tuhan Pencipta Alam.
Aku terdiam seribu bahasa bersama menjelang kelelawar malam keluar dan menghilang.
Ya Tuhan…


*Cerpen ini diikut sertakan dalam "LOMBA MENULIS CERPEN TEATER BUMI se-KABUPATEN TARAKAN" Dan memenangkan juara pertama

Selasa, 03 Mei 2011

Berganti Musim

Aku terdiam beribu-ribu tanya. Ya Tuhan. Padang beras di dusunku mengering! Bulir-bulirnya langsat, Tak serupa bulir yang kuning lumrah macam bunga matahari. Apa musabab ? Tlah terkena kutuk leluhurkah atau terjadi prahara antara si pemanen dengan petani Elim, sehingga membuat padang mengering, serupa batu yang mengeras dikutuk leluhurnya? Bulir-bulir beras membatu! Tidak saja membuatku senyap tak percaya. Tapi mengingatkanku akan kenangan tempo dulu di dusun ini. Siapa yang bisa menghindar dari kenangan dan pengalaman? Betapa hijau kekuning-kuningan dusun ini. Dulu!.

Kemana para gadis tua yang dulu bersiul-siul bersama kicau burung dusun nan indah dan sejuk ini? Mungkin menyimpan diri di balik bilik tua. Takut kuku-kuku indah mereka terkena kotor leutak padang beras. Tak enak membiarkan wangi badan bercampur dengan aroma kotor yang menusuk.

Lantas, kemana pula para bujangan? Yang seharusnya membajakkan si kerbu ingusan di padang. Dan menghasilkan beras menjadi rupiah di pasar Simatupang. Atau memotong batang-batang rumput hijau di galeng jalan-jalan kecil di pesawahan. Jangan bilang para bujang besembunyi bersama gadis tua di balik bilik tua!

Har! Celakalah dusunku yang dulu indah ini! Padang telah mengering kuning menjadi dataran tanah tanpa penghijauan.

***

Kulihat dan kulirik semua terhampar kering, Kuning. Terikat dalam satu warna, bukan hijau, tapi hanya kering. Sama halnya tanpa ada batang beras ini, binatang padang beras tak satupun keluar menampakkan hidung ataupun ekornya. Seperti dalam satu kutukan, semua menghilang (atau bersembunyi?) dan membiarkan padang mengering dalam sunyi.

Tak ada siulan seorang bujang ingusan. Pemalas pemanggil sebuah kenangan. Tak ada pula jalan bekas traktor pengunyah tanah yang kemarin indah dan basah disana, di padang beras.

Bujangan oh bujangan! Kemarin masih ada bersama gitar kroncong milik kakekmu di sisi galeng basah. Sekarang entah kemana?

Tak sadarkah para petinggi pemilik padang? Melantarkan ladang penghasil uang. Membiarkan kering kerontang. Aduhai, sangat malang kepalang. Meninggalkan padang gersang, dalam artian melantarkan anak bini juga warga-warga disini. Di dusun indah ini. Bahkan tak akan ada lagi dapur yang mengepulkan asap nasi liwet.

Dimana, kemana para dedekot dusun ini?

Har! Tak ada yang melihat keadaan galeng-galeng kotak ‘tuk bahan pokok dusun esok hari. Ataupu hari ini. Sepertinya ada yang ganjil, tentu tak seganjil diriku yang baru kembali dari Ujung Kulon, setelah bertahun-tahun aku hengkang dari dusunku ini.

Hati tak sabar tuk melihat dedekot dusun yang melantarkan padang yang begitu kering, gersang. Dan merengek sedih pada petinggi-petinggi gedung berkaca di kota atupun tikus-tikus kota.

Masamkah muka mereka? Hai pemilik padang gersang?

Berkecambuk dalam pikiran yang tak tentu. Bercampur dalam sebuah elegi tuk hari esok. Mencari sebab musabab atas semua prilaku yang terlihat dengan kasat mata penuh dosa. Angin ngahiliwir, dina asa anu karasa sareng kariksa.

Dari bak mobil kap bunting, kutengok seorang supir bersiul-siul dengan seorang kenek yang berdendang mengikuti irama tape recorder, Suhu milik Iwan Fals.

Berlalu-lalang, lewat sana-sini seperti tak aneh melihat padang kering bertajuk kerontang sepanjang jalan menuju dusun; Palawija.

***

Lagi-lagi aku tertegun. Ya Tuhan. Dimana muka kesedihan mereka? Tak merasakah padang beras mereka telah kering, tak satu pun yang kuhayalkan terbukti asli. Muka nelangsa tak ada di raut muka mereka.

Aku membatu di serambi jalan. Menatap kosong tertuju dan berkaca pada cermin genangan air jalanan bekas hujan tadi malam yang penuh dengan pengakuan dosa seorang hamba. Tak dapat bergerak jua kaki melangkah. Motor-motor berseliweran, mengepul asap, membuatku batuk dan terjaga.

Otakku kini membeku, hilang sudah impian sebuah dusun yang asri dan murni. Atau mungkin aku linglung. Salah alamat. Dimana penduduknya tak peduli padang beras kembali ada. Hijau, menguning langsat. Tak peduli.

***

“Orang kampung dapat selembar kertas merah bernominal tiap bulan, Nak” Ucapnya “Seratus ribuan!” Tegas simpul Bang Gaek. Tangannya menjiwir sedikit roti murah dan mencelupkannya ke dalam secangkir kopi wedang jahe, lalu meminumnya. Terdengar mengecap kenikmatan kopi berpadu-padan dengan wedang jahe panasnya.

“Tiap bulan, Bang?” Keningku mengkerut.

“Har!”. Tegasnya “Padang kita bagus tanahnya. Datar, P.T. Rumah Indah yang ada di Pasirkemih yang beli, sudah dimeteri padang itu” Jelasnya.

“Semuanya?” Kejarku, mukaku pias, putih.

Dari bibirnya yang hitam, terlihat gumpalan asap putih mengepul aroma tembakau. Garpit. Terbang rendah di sekitar kepalanya.

“Bang, Dimana orang mencari nafkah?” Lontarku. “Teu kapikir emangna?” Otakku bebal dibuatnya.

“Tenang aja lah, sepakat lewat pesirah dan P.T Rumah Indah, padang beras kita dipakai menjadi ladang rumah-rumah, perumahan!” Sahut Bang Gaek, masih santai dengan roti dan kopi panasnya.

“Har, arurang tak perlu ka ladang! Tinggal cicing datanglah uang. Hahahahaha…” Tawa-tawa kecil menyeringai jelas di raut muka Bang Gaek, mengiringi musabab ladang hilang.



Aku senyap…

Bang Gaek mungkin benar, dusun ini akan lebih makmur dibandingkan dengan dusun kemarin-kemarin sebelum aku pergi merantau jauh. Gadis tua, mungkin tak akan pergi kotor-kotoran lagi. Bahkan bujangan tak mesti mengurus kerbau-kerbau ingusan pula. Tapi, alam akan marah akibat itu semua.

***

Aku menghela napas, melihat padang kering tak hijau kembali. Debu-debu mengepul ketika tanah tertiup angin bersama sinar matahari.

Mesin-mesin mulai membangun pondasi rumah. Seketika itu juga, burung-burung kecil tunggang langgang mengepak sayap.

Tak jauh beda yang berada di tanah, hewan berlarian mencari selamat. Lari sejauh kaki berlari. Mghindar menuju padang yang tak terpegang iblis bermata peri.

Aku senyap. Sebab tak akan ada lagi cerita kerbau tersandung di atas tanah kotor, berlumpur. Kini hanya ada tanah tandus nan gersang yang akan ditinggalkan bila isi perutnya telah terkuras tak tersisa. Ya Tuhan.





-Kota Dodol, 2 Mei 2011-

"cerpen Lomba menulis SMAN 1 Bekasi...."

Kamis, 28 April 2011

Catatan Opa

dahulu...

sempat kutuliskan di atas secarcik kertas suci

sebuah kehidupan dalam lingkaran Ibu Kota

arti sebuah perjuangan para bangsawan

semangat para kaum hawa bersama Ibu Kartini

tetesan kenangan anak-anak negeri

bersama ribuan mimpi...





semua itu cukup untuk cucu ku

esok hari...





Lihat lah, nak !

ini catatan Opa tempo dulu...

semuanya, dahulu memang seperti ini

tapi...

semua menjadi tak ada

sebuah perjuangan telah hilang disana

semangat kini tak ada dan abstrak

mimpi pun entah kemana !

semua bersatu padu dalam pekatnya Ibu Kota

hanya do'a yang bisa ku antarkan pada-Nya...



-Batavia, 27.04.2011-

METAMORFOSA IBU KOTA

Batavia, 1862-1942

bersama indahnya rindang pohon bertadjuk bunga

kau taburkan bersanma banyaknya mimpi-mimpi anak ketjil

sedjuk, nyaman dalam nyanyian sendja

tempo hari...

nyanyian "ncing" memakai kerontcjng

terdengar alami merdu mengaloen melayoe

hingga mengantarkan koe pada seboeah mimpi syahdoe



aku pun terbangun

dari lelap ku....



Jakarta, ...-2011

Aku takut akan tak adanya rindang pohon

tak hijau, dan tak ada bunga lagi

mimpi-mimpi anak kecil pun, sekarang tak ada !!

dimana ??

polusi, bercampur dalam tangisan anak tiri...

sekarang ini...

pengamen jalanan memakai "kecrekan"

terdengar kasar dalam nyanyian

hingga mengantarkanku pada kesadaran



dan inilah keagungan Tuhan

syukur, ku ucap selalu dalam sujud ku hanya pada-Mu



-Batavia,27.04.20011-

Minggu, 24 April 2011

10 Tips belajar yang baik

1. Belajar dengan tekun dan giat akan membuat hasil yang lebih maksimal
2. Belajar dengan berkelompok akan lebih memudahkan pembelajaran seseorang
3. Dengan membuat intisari (rangkuman) dari setiap pembicaraan pengajar
4. Belajar dengan aktif, berani ditanya dan bertanya
5. Mampu membuat suasana belajar yang kondusif. Karena hal ini akan mempengaruhi kepada suasana belajar seseorang
6. Giat dalam membaca buku-buku pealajaran atau pun buku umum lainnya yang mampu memberikan referensi dalam belajar
7. Berani mencoba hal yang baru. Hal ini disudutkan untuk lebih berpengalaman dari suatu pekerjaan dalam pembelajaran
8. Mempunyai sikap yang sabar dalam hal menerima pelajaran yang disampaikan oleh pengajar
9. Berbagi dalam pelajaran yang telah diajarkan. Hal ini dilakukan supaya daya ingat seseorang terhadap pelajaran yang digelutinya terulang-ulang
10. Hindari belajar dengan SKS (sistem kebut semalam).