Selasa, 03 Mei 2011

Berganti Musim

Aku terdiam beribu-ribu tanya. Ya Tuhan. Padang beras di dusunku mengering! Bulir-bulirnya langsat, Tak serupa bulir yang kuning lumrah macam bunga matahari. Apa musabab ? Tlah terkena kutuk leluhurkah atau terjadi prahara antara si pemanen dengan petani Elim, sehingga membuat padang mengering, serupa batu yang mengeras dikutuk leluhurnya? Bulir-bulir beras membatu! Tidak saja membuatku senyap tak percaya. Tapi mengingatkanku akan kenangan tempo dulu di dusun ini. Siapa yang bisa menghindar dari kenangan dan pengalaman? Betapa hijau kekuning-kuningan dusun ini. Dulu!.

Kemana para gadis tua yang dulu bersiul-siul bersama kicau burung dusun nan indah dan sejuk ini? Mungkin menyimpan diri di balik bilik tua. Takut kuku-kuku indah mereka terkena kotor leutak padang beras. Tak enak membiarkan wangi badan bercampur dengan aroma kotor yang menusuk.

Lantas, kemana pula para bujangan? Yang seharusnya membajakkan si kerbu ingusan di padang. Dan menghasilkan beras menjadi rupiah di pasar Simatupang. Atau memotong batang-batang rumput hijau di galeng jalan-jalan kecil di pesawahan. Jangan bilang para bujang besembunyi bersama gadis tua di balik bilik tua!

Har! Celakalah dusunku yang dulu indah ini! Padang telah mengering kuning menjadi dataran tanah tanpa penghijauan.

***

Kulihat dan kulirik semua terhampar kering, Kuning. Terikat dalam satu warna, bukan hijau, tapi hanya kering. Sama halnya tanpa ada batang beras ini, binatang padang beras tak satupun keluar menampakkan hidung ataupun ekornya. Seperti dalam satu kutukan, semua menghilang (atau bersembunyi?) dan membiarkan padang mengering dalam sunyi.

Tak ada siulan seorang bujang ingusan. Pemalas pemanggil sebuah kenangan. Tak ada pula jalan bekas traktor pengunyah tanah yang kemarin indah dan basah disana, di padang beras.

Bujangan oh bujangan! Kemarin masih ada bersama gitar kroncong milik kakekmu di sisi galeng basah. Sekarang entah kemana?

Tak sadarkah para petinggi pemilik padang? Melantarkan ladang penghasil uang. Membiarkan kering kerontang. Aduhai, sangat malang kepalang. Meninggalkan padang gersang, dalam artian melantarkan anak bini juga warga-warga disini. Di dusun indah ini. Bahkan tak akan ada lagi dapur yang mengepulkan asap nasi liwet.

Dimana, kemana para dedekot dusun ini?

Har! Tak ada yang melihat keadaan galeng-galeng kotak ‘tuk bahan pokok dusun esok hari. Ataupu hari ini. Sepertinya ada yang ganjil, tentu tak seganjil diriku yang baru kembali dari Ujung Kulon, setelah bertahun-tahun aku hengkang dari dusunku ini.

Hati tak sabar tuk melihat dedekot dusun yang melantarkan padang yang begitu kering, gersang. Dan merengek sedih pada petinggi-petinggi gedung berkaca di kota atupun tikus-tikus kota.

Masamkah muka mereka? Hai pemilik padang gersang?

Berkecambuk dalam pikiran yang tak tentu. Bercampur dalam sebuah elegi tuk hari esok. Mencari sebab musabab atas semua prilaku yang terlihat dengan kasat mata penuh dosa. Angin ngahiliwir, dina asa anu karasa sareng kariksa.

Dari bak mobil kap bunting, kutengok seorang supir bersiul-siul dengan seorang kenek yang berdendang mengikuti irama tape recorder, Suhu milik Iwan Fals.

Berlalu-lalang, lewat sana-sini seperti tak aneh melihat padang kering bertajuk kerontang sepanjang jalan menuju dusun; Palawija.

***

Lagi-lagi aku tertegun. Ya Tuhan. Dimana muka kesedihan mereka? Tak merasakah padang beras mereka telah kering, tak satu pun yang kuhayalkan terbukti asli. Muka nelangsa tak ada di raut muka mereka.

Aku membatu di serambi jalan. Menatap kosong tertuju dan berkaca pada cermin genangan air jalanan bekas hujan tadi malam yang penuh dengan pengakuan dosa seorang hamba. Tak dapat bergerak jua kaki melangkah. Motor-motor berseliweran, mengepul asap, membuatku batuk dan terjaga.

Otakku kini membeku, hilang sudah impian sebuah dusun yang asri dan murni. Atau mungkin aku linglung. Salah alamat. Dimana penduduknya tak peduli padang beras kembali ada. Hijau, menguning langsat. Tak peduli.

***

“Orang kampung dapat selembar kertas merah bernominal tiap bulan, Nak” Ucapnya “Seratus ribuan!” Tegas simpul Bang Gaek. Tangannya menjiwir sedikit roti murah dan mencelupkannya ke dalam secangkir kopi wedang jahe, lalu meminumnya. Terdengar mengecap kenikmatan kopi berpadu-padan dengan wedang jahe panasnya.

“Tiap bulan, Bang?” Keningku mengkerut.

“Har!”. Tegasnya “Padang kita bagus tanahnya. Datar, P.T. Rumah Indah yang ada di Pasirkemih yang beli, sudah dimeteri padang itu” Jelasnya.

“Semuanya?” Kejarku, mukaku pias, putih.

Dari bibirnya yang hitam, terlihat gumpalan asap putih mengepul aroma tembakau. Garpit. Terbang rendah di sekitar kepalanya.

“Bang, Dimana orang mencari nafkah?” Lontarku. “Teu kapikir emangna?” Otakku bebal dibuatnya.

“Tenang aja lah, sepakat lewat pesirah dan P.T Rumah Indah, padang beras kita dipakai menjadi ladang rumah-rumah, perumahan!” Sahut Bang Gaek, masih santai dengan roti dan kopi panasnya.

“Har, arurang tak perlu ka ladang! Tinggal cicing datanglah uang. Hahahahaha…” Tawa-tawa kecil menyeringai jelas di raut muka Bang Gaek, mengiringi musabab ladang hilang.



Aku senyap…

Bang Gaek mungkin benar, dusun ini akan lebih makmur dibandingkan dengan dusun kemarin-kemarin sebelum aku pergi merantau jauh. Gadis tua, mungkin tak akan pergi kotor-kotoran lagi. Bahkan bujangan tak mesti mengurus kerbau-kerbau ingusan pula. Tapi, alam akan marah akibat itu semua.

***

Aku menghela napas, melihat padang kering tak hijau kembali. Debu-debu mengepul ketika tanah tertiup angin bersama sinar matahari.

Mesin-mesin mulai membangun pondasi rumah. Seketika itu juga, burung-burung kecil tunggang langgang mengepak sayap.

Tak jauh beda yang berada di tanah, hewan berlarian mencari selamat. Lari sejauh kaki berlari. Mghindar menuju padang yang tak terpegang iblis bermata peri.

Aku senyap. Sebab tak akan ada lagi cerita kerbau tersandung di atas tanah kotor, berlumpur. Kini hanya ada tanah tandus nan gersang yang akan ditinggalkan bila isi perutnya telah terkuras tak tersisa. Ya Tuhan.





-Kota Dodol, 2 Mei 2011-

"cerpen Lomba menulis SMAN 1 Bekasi...."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar