Minggu, 15 Mei 2011

Dusun ku Hilang

Masa ini aku termenung kembali di atas batu yang bisu, bersama kuali entah milik siapa. Ya Tuhan. Mereka terlihat busung dan kelaparan. Rumah itu bah gerbong kereta api yang diam dan sudah tua. Mungkin itu gerbong kereta keluaran Belanda dahulu. Tersusun rapih. Banyak tambalan-tambalan kardus bekas pencarian mereka yang busung tadi pagi. Apakah sekarang masih busung?
Ku cari lebih dekat keberada bau anak busung…
Har! Kemana anak-anak dusun Lempong busung yang ingusan ini? Tak adakah yang memecahkan batu-batu pualam di serambi muara milik orang? Takut tangan-tanagan mungil mereka tergencet dan terpalu batu.
Dan kemana suara-suara batu pecah yang sering berdecik kasar di sana-sini. Sekarang tak ada (atukah bersembunyi?) Biasanya habislah berates-ratus batu yang anak ingusan itu bersama tetesan-tetesan keringat penuh perjuangan. Tapi kali ini? Sepi, sunyi, bersatu pada dalam kegelisahan. Jangan katakan anak-anak ingusan itu bersembunyi di kolong-kolong jembatan kampung sebrang, mencekik botol!
Ya Tuhan. Tanah Lempong kini sepi.
***
Pelarian ku kini menuju ke Lempong Tonggoh. Di Bak mobil milik seorang pekerja entah dari mana, tak tahu asalnya. Yang jelas terlihat dari belakang bersiul-siul mengiringi Senandung Kalbu, milik Hendra dari tape recorder nya. Dan berhenti di warung kopi Bang Mada. Dan terlihat tak ada lagi pengepul batu-batu pualam di siang mentereng lagi. Dimana mereka tinggal dan kemana mereka berlari, pergi?
Kini, muara masih ada. Namun penghuni telah tiada. Batu-batu membisu dan menunggu pengepul datang dan menyapa. Sekarang tiada. Dahulu sering nampak jelas jejak-jejak kaki berlari ke arah mata kaki pergi. Bekas anak-anak ingusan pengepul batu mencari batu yang tadi diam membisu, disini. Di tempatku berdiri dan bernyanyi rindu saat ini.
Ah, sore ini sangat sepi. Gadis-gadis tak ada lagi yang memetik pucuk-pucuk daun teh pinggiran, aroma semerbak mewangi menghiasi hari, dahulu. Dengan corong di kepala, pelindung terik surya dan bakul pengumpul pucuk-pucuk teh digendong samping pinggang yang lenggang. Aduhai sangat langsat. Berjalan lunggak-lenggok, anggun nan menggoda pemuda dusun Lempong Tonggoh. Dan kini pun mereka tiada.
Pohon-pohon teh yang kecil mungil, kini kering kerontang tak punya pucuk-pucuk yang rindang lagi, kembali. Semua itu penghasil uang jika ditukar dengan para pengepul batu dan pengepul teh di pasar Temanggung sana.
***
Kini aku hanya bisa diam untuk tanah teh di dusun Lempong Tonggoh ku yang dulu indah. Semuanya berubah setelah aku pergi dan kembali dari negeri orang di sebrang bukit-bukit sana. Yang hampir sama keadaannya, kering bagai laring yang kering.
Mendengarkan dendang irama puisi Willybrordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo, Bumi Hangus. Yang dilantunkan anak ingusan dusun Lempong Tonggoh, termakan hati ini dibuatnya pada garis khatulistiwa yang nampak jelas saat ini, peduli.
“Alam! Dengarkan suara bising ku ini!” Lantang anak ingusan memecah kesunyian bersama datangnya lembayung kuning langsat di arah timur. Arah sang surya muncul disana, tanda akhir dunia.
“’Bumi Hangus
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Apa lagi kita punya? Berapakah harga cinta?
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Kita harus pergi kemana, di mana rumah kita?
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Bimbang kalbu oleh cedera
Di bumi hangus yang hangus hati selalu bertanya
Hari ini maut giliran siapa?’
ku persembahkan untuk penghuni bumi tercinta yang kini menangis karya, W.S Rendra dalam Stanza dan Blues…”

Semua orang di warung kopi termenung aneh penuh tanda tanya melihat dan memperhatikan tingkah-laku anak ingusan berteriak dengan serak. Aku pun juga.
“Har! Nak, apa-apaan kau ini? Berteriak tak tahu diri” Mendenguslah Bang Mada, pemilik warung kopi di dusun Lempong Tonggoh. “Pergi sana!” Tegasnya usir anak ingusan.
Pikirku, apakah Bang Mada tak sadar dengan keadaan dusun saat ini? Irama Bumi Hangus, anak kecil yang busung dan ingusan, serta keadaan dusun yang kering kerontang. Semua bagai teka-teki Sherlock Holmes yang sukar dipecahkan oleh orang tertentu. Atau mungkin sebuah tanda tertentu, antara Kekuasaan milik Tuhan, jalan alam, dan kehidupan di masa silam, sekarang atau yang akan datang?
Ya Tuhan…
***
Seorang yang tak ku kenali sama sekali duduk di samping ku, di serambi warung Bang Mada. Tangannya perlahan menuju sebuah cangkir berisikan kopi panas pesanannya, dan kemudian menyeruputnya dengan penuh kenikmatan. Terdengar mengecap sedap antara, rasa bercampur dengan lepasnya dahaga yang hilang dengan panas secangkir kopi.
“Ah… Sebentar lagi hidup kita tak perlu susah mencari batu-batu pualam di muara lebak sana, atupun menyuruh gadis-gadis rumah memetik pucuk-pucuk teh di sini” Lirih dia pada Bang Mada.
“He…” Bang Mada hanya tersenyum simpul menyambut ucapannya. “Kapan mulai dimeterinya, Bang?” Kejar oborolan Bang Mada bercampur tanya.
“Minggu depan!”
Aku bingung dengan obrolan mereka berdua saat itu. Rasanya, di benak ku ini penuh tanda tanya. Ada apa? Ada apa?
“Bang, berapa uang semuanya?”
“Roti dua, Kopi panas satu gelas… semuanya jadi lima ribu rupiah aja, Bang”
“Nih Bang! Esok hari tak akan susahlah nyari selembaran ini…” Lelaki itu pergi mengikuti hilangnya lembayung sore.
“Makasih, Bang!”
Semua keadaan menjadi sunyi kembali…
Aku pun memecah kesunyian itu dengan sebuah pertanyaan. “Bang, boleh tau apa yang Abang bicarakan dengan orang tadi?” Tanyaku heran.
Bang Mada sebentar menyeruput teh manis miliknya.
“Ah… jadi gina Zam, dusun kita ini tanahnya bagus dan subur. Dan akan dimeteri oleh orang dari kota Emil. Dan dibuat semacam tempat perkemahan gitulah…” Simpulnya “Dan tiap bulannya, semua orang dusun kita in dapat uang persenan dari mereka”
“Har! Benarkah begitu bang” Aku kaget dibuatnya.
“Kata orang dusun kebanyakan sepeti itu, tapi Abang kurang tahu banayk tentang hal itu. Sudahlah, tak perlu cemas kau, Zam”
***
Tak akan ada lagi anak ingusan pencari batu di Lempong Lebak sana, di muara. Tak akan ada lagi cerita gadis-gadis centil yang berlenggak-lenggok di pagi hari atau pun sorenya. Tak akan ada lagi cerita indah dusunku ini untuk cucu ku esok hari. Tak sadarkah warga dusun Lempong saat ini?
Memang enak jika kita terus disuapi oleh Mamma. Memang enak ikan sungai dibandingkan ikan pasaran dari kolam. Tapi, semuanya akan lebih terasa dengan usaha kita. Tangan-tangan mungil anak ingusan atau tangan-tangan yang indah memetik pucuk daun teh.
Dusunku kini telah berubah. Tak seperti dulu lagi. Yang hijau, yang indah, dan yang asri.
Kali ini, kata-kata hanyalah kenangan. Suatu dusta adalah tantangan saat berhadapan dengan Tuhan Pencipta Alam.
Aku terdiam seribu bahasa bersama menjelang kelelawar malam keluar dan menghilang.
Ya Tuhan…


*Cerpen ini diikut sertakan dalam "LOMBA MENULIS CERPEN TEATER BUMI se-KABUPATEN TARAKAN" Dan memenangkan juara pertama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar